“KAMU kalo nggak serius nggak usah ikut! Bilang dari awal, biar aku bisa cari pengganti yang lebih baik dari kamu!”
Tubuhku goyah setelah lenganku ditarik paksa oleh seseorang. Aku mendongak, menatap nyalang Grace yang juga memasang wajah bengal padaku. Aku maju, tanpa pikir panjang menarik kerah baju putihnya, sesuatu hal yang sampai kiamat pun tak pernah terpikirkan akan kuperagakan pada Grace.
“Aku ‘kan udah bilang dari awal kalo aku nggak mau! Kamu aja yang maksa!”
Grace terperangah seyogianya tak habis pikir setelah mendengar ucapan semena-menaku, pun dengan kelakuan serampanganku yang menarik pakaiannya.
Tak puas sampai situ, aku kembali menyerang Grace dengan kalimat pembenaran diri yang sudah sangat lama berusaha kutahan, tetapi akhirnya meledak dan tumpah ruah akibat sudah tak terbendung, tak memikirkan kelogisan kepada siapa seharusnya aku marah dan berteriak.
“Kamu ngomong seenaknya tentang aku. Kamu tahu apa tentang masalahku? Kamu tahu apa tentang hidupku? Mending kamu diem kalo nggak tahu apa-apa, Grace! Aku paling benci orang-orang egois kayak kamu!”
Tatapan Grace menajam, sama sekali tak berniat melunak di hadapanku. Api kemarahannya ikut melonjak, begitu pula aku yang masih mencengkeram kerahnya hingga kusut.
“Kamu yang egois, An!” Grace menodongkan telunjuknya ke pelipisku; mendorong geram kepalaku dengan sekuat tenaga.