2019
AKU menguap lebar hingga sudut mataku berair. Mentari pagi kali ini tak begitu terik, hanya malu-malu bersembunyi di punggung awan. Aku melambaikan tangan, menyapa angin yang sudah sangat berbaik hati memenuhi paru-paruku.
Tangan kasarku kembali memilih baju untuk dijemur, kemudian menggantungnya di tali jemuran mahakarya Papa yang dipaku dari tembok tetangga ke pagar rumahku.
Aku meringis, menyentuh perut rataku yang sekilas terlihat baik-baik saja.
“Kenapa kamu? Coba jadi perempuan itu yang anggun dan sopan sedikit.”
Meskipun sudah mendengar cemoohan khas itu beribu kali, aku tetap terlonjak, benar-benar kaget hingga keseimbangan tubuhku goyah, menyebabkan sandal tipis bau kaki itu melayang menghampiri wajah orang yang menyapaku.
“Amah!”
Tanpa berniat meminta maaf atau membantu membersihkan wajahnya yang terkena kotoran dari sandalku, aku terpingkal-pingkal hingga melupakan rasa sesak di perutku. Aku memelotot, sontak meraung-raung bak anjing kehilangan tulang spesial pemberian majikannya.
“Siau cabo!”¹