2021
SEMBARI memejamkan mata erat-erat, kutempelkan kedua tanganku yang menggenggam tiga batang dupa ke dahi. Posisiku sekarang tengah bersimpuh di depan toapekong¹, berdoa seperti hari-hari lalu.
Usainya aku berdiri, menancapkan dupa dalam genggamanku ke wadahnya. Netra kelamku kembali terpejam dengan kedua telapak tangan terkatup rapat di depan dada. Lima detik berlalu, doa pagiku pun selesai dengan damai.
Kulihat orang-orang rumah masih tertidur nyenyak, kecuali dia. Aku menggaruk paha bagian dalamku dan berjalan gontai ke halaman rumah, melewati dua kursi kosong dan satu meja kayu yang terpampang jelek di dekat dinding rumah, tempat di mana tamu-tamu tak penting disambut.
Aku menguap lebar di depan pintu pagar rumah. Kurenggangkan seluruh persendian tubuhku yang menjerit kesakitan lantaran posisi tidurku yang agak spesial; saat bangun, kutemukan kepalaku berada di tempat semestinya kakiku berada sebelum tidur.
Ayam berkokok ribut, memberitahukan pada seisi dunia kalau pagi telah menyambut, meskipun ini barulah pukul enam di hari Minggu berawan.
Aku melirik ke sebelah, diam-diam memperhatikan seorang wanita tua yang duduk melamun di dekat tangki air berukuran seribu liter. Tongkat kayunya menyandar nyaman di tembok bercat murahan yang warnanya telah lama memudar.
Setelah kuhitung, sudah sepuluh menit ia di sana, hanya diam tanpa bersuara. Aku gelisah, dahiku mulai mengerut karena tak mengerti mengapa ia selalu memilih duduk di sana pagi-pagi sekali. Langkah kecil membawaku menghampirinya. Sembari berjongkok, aku menggenggam jemari kurus keringnya yang mengeriput, menatap prihatin sekaligus sedih. Dulu tak seperti ini.
“Amah, dingin nggak?”
Aku memijat pelan tangannya, memberikan rangsangan kecil agar ia meresponsku. Mata sayu Amah melirikku, kemudian memejam erat, lama sekali.
Sudah dua tahun berlalu sejak Amah kehilangan kebebasannya karena terjatuh di kamar mandi. Masih segar dalam memori jangka panjangku, waktu itu pukul empat sore, Amah berjalan ke kamar mandi, bersiap melakukan ritual mandi sore selayaknya hari-hari lalu.
Namun, hari sial tak ada di kalender; Amah terpeleset dengan posisi pantatnya yang mendarat duluan ke lantai. Pelipisnya menabrak sudut tajam bak mandi hingga tak sedikit mengeluarkan darah segar yang mengotori ubin porselen.
Sialnya lagi, saat itu Amah mengunci pintu, tak mengizinkan seorang pun masuk dan menginterupsi acara mandi sorenya yang berujung celaka. Di luar aku menggedor pintu sembari menelepon Papa, menyuruhnya pulang dari bengkel dan menolong Amah yang sekarat.
Sepuluh menit berlalu, pintu kamar mandi tiba-tiba terbuka, menampilkan siluet tubuh tanpa busana Amah yang membiru. Buru-buru kuraih handuk yang bertengger di gagang pintu dapur, membungkus Amah dalam pelukanku.