Till We Meet Again

Mia Fransiska
Chapter #2

1 *Berkawan dengan Kegagalan*

Suasana Stasiun Sudirman tidak begitu ramai saat Flara menunggu kedatangan KRL rute Bogor. Ia mendudukkan diri di bangku besi berbentuk tiga jajar pipa yang terpancang di peron, mengentak-entakkan sepatu heels-nya ke lantai peron sembari menatap ragu layar ponsel. Ia menggigit bibir bawah, merasa bingung harus menuliskan pesan apa untuk sang Ibu.

Ma, maaf, Flara gagal lagi.

Gagal. Sebuah kata yang Flara benci. Flara membuang pandangan ke atas langit terik ibukota. Netranya berkaca-kaca saat mengirim pesan tersebut. Seketika, ia merasa bodoh dan tidak berguna. Masih segar dalam ingatan ketika sang Ibu mendoakannya untuk tes seleksi serta interview hari ini. Peluk dan senyum hangat ia berikan sebelum Flara berangkat, seolah ritual tersebut wajib dilakukan para orangtua agar semangat dan kekuatan sang anak bertambah.

Berbeda pada waktu ia pergi dengan segudang rasa percaya diri, kini ia pulang dengan setumpuk rasa kecewa pada diri sendiri. Flara sudah mempersiapkan diri untuk tes seleksi dan interview. Ia banyak membaca buku tip-tip menjawab pertanyaan HRD dan mempelajari soal-soal psikotes lewat youtube. Akan tetapi, kenyataannya itu tidak menjamin seseorang akan lolos tes seleksi dan interview. Karena ada orang-orang yang sudah bekerja keras, tapi keberuntungan tidak berpihak padanya. Dan Flara termasuk ke dalam golongan orang-orang tersebut.

Akhir-akhir ini, ia pun lebih sering mempertanyakan keberadaan Tuhan. Flara taat menjalankan ibadah, tapi Tuhan seolah absen dari kehidupannya. Tuhan nggak pernah meninggalkan kita. Dia dekat. Dia ada di setiap hati kecil manusia. Flara memegang dadanya, mengingat ucapan yang selalu dilontarkan sang Ibu setiap kali ia bersungut-sungut mempertanyakan keberadaan Sang Pencipta.

Perempuan berusia dua puluh tiga tahun itu nyaris menitikan air mata andai deru dan bunyi klakson kereta tidak menusuk telinga. Dengan sisa-sisa tenaga yang lesu, Flara menaikkan tali tasnya ke bahu dan berlari untuk segera naik ke gerbong kereta. Rambutnya yang dikepang dua lalu dicepol agak sedikit berantakan lantaran tersapu angin saat ia menunggu tadi. Flara melangkah, melewati orang-orang seiring transportasi umum itu kembali melaju. Kadang-kadang ia sigap memegang erat hand grip saat keseimbangan tubuhnya hampir hilang. Flara menyusuri tiap gerbong kereta sampai mencapai gerbong khusus wanita.

Kondisi kereta pun tidak begitu sesak meski kursi penumpang cukup terisi penuh, mengingat hari masih pukul dua siang. Jika ia naik KRL di saat jam pulang kantor, sudah pasti dirinya tak akan mendapat tempat duduk seperti sekarang ini. Kedua sudut bibir Flara terangkat dan ia menggeser posisi duduk ketika seorang wanita—yang kira-kira umur empat puluhan—berniat duduk di sampingnya.

Wanita berhijab ungu muda itu pun bertanya, “Habis interview kerja, ya, Mbak?”

Flara diam beberapa detik, kemudian ia sadar bahwa pakaiannya memang mencirikan seseorang yang sedang mencari pekerjaan—kemeja putih, rok hitam selutut, serta sepatu heels berwarna senada dengan rok. “Ah, iya, Bu,” jawabnya singkat.

“Umur berapa, Mbak?”

“Dua puluh tiga.”

Wanita tersebut merekahkan senyum. “Saya juga punya anak perempuan. Satu tahun lebih tua dari Mbak. Dia juga sama, sedang mencari pekerjaan. Semangat, Mbak! Maaf ya kalau saya lancang karena langsung menembak pertanyaan tadi.”

“Nggak apa-apa, Bu. Lagi pula, memang kostum saya yang mencolok banget,” timpal Flara sedikit bercanda.

Wanita yang duduk di sampingnya tampak membaca raut kesedihan Flara yang tak mudah untuk ditutupi. “Semangat, Mbak! Kalau hari ini kita belum diterima kerja, anggap saja kalau itu memang bukan rezeki kita. Saya juga selalu sedih kalau lihat anak saya gagal. Tapi, saya selalu bilang begitu sama anak saya supaya dia tetap semangat. Jadi, saya harap Mbak juga tetap semangat.”

“Terima kasih banyak, Bu,” ucap Flara mengembangkan senyum. Sedetik kemudian, raut wajahnya sudah berubah kembali.

Rezeki tidak pernah tertukar. Banyak oang yang berkata seperti itu. Percaya tidak percaya, kata-kata itu memang cukup untuk menghibur diri sendiri kendati hati masih belum bisa menerima kegagalan itu sendiri. Bagaimanapun, Flara bersyukur ada seorang ibu yang menyemangatinya di tengah-tengah perjalanan pulang.

Flara mengerjapkan-ngerjapkan netra, berusaha menormalkan kembali pandangannya serta membetulkan posisi duduknya. Entah sudah berapa lama ia tertidur. Ibu yang mengenakan hijab ungu muda tadi pun sudah menghilang. Flara berpikir mungkin ibu tersebut sudah turun lebih dulu di stasiun lain. Gerbong kereta yang ditempati Flara pun tampak lengang. Sejurus kemudian, ia menjulurkan kepala, menengok ke kaca jendela pintu kereta dan segera sadar bahwa kurang dari lima menit lagi ia sampai di Stasiun Bogor.

Lihat selengkapnya