Time Dimension

Hervi Dwi Susanti
Chapter #2

Chapter 1(The Beginning)

Chapter 1

(The Beginning)

“Mungkin saat kita menginginkan sebuah kebahagiaan. Bahwasannya kita lupa menyelipkan rasa bersyukur di dalamnya. Bahwasannya kita lupa bahwa kebahagiaan yang kita terima, bergantung pada takdir yang sudah digariskan sang pencipta.”

Los Angeles, 31 Desember 2004

Musim dingin di akhir tahun yang begitu menusuk tulang tubuh, salju turun begitu lebatnya di tengah jalanan kota Los Angeles. Pergantian tahun yang dinanti-nanti oleh banyak orang, pesta kembang api dimana-mana, berbagai macam pertunjukan akhir tahun. Siapa yang tidak ingin melewatkan pesta akhir tahun yang begitu ramai? Terlebih kita menyaksikannya dengan orang terkasih, akan semakin membuat kesan yang begitu indah bukan?

Aruna Alison, gadis blesteran Jepang-Amerika yang baru saja memasuki usia 25 tahun itu. Harus melewatkan malam tahun barunya untuk kali ini. Yang seharusnya, Aruna dapat menikmati libur panjang di akhir tahun. Dengan begitu terpaksa, Aruna harus berkutat dengan layar komputernya. Kalau saja, tidak gara-gara bosnya yang menyebalkan itu. Yang menyuruhnya untuk mengerjakan proyek akhir tahun. Ia mungkin sudah berjalan-jalan dengan teman-temannya menantikan penyalaan kembang api.

Waktu sudah menunjukan pukul 23.30, dan Aruna sudah menyelesaikan tugas dadakan yang diberikan oleh bosnya itu. Ia mematikan layar komputernya, membereskan meja kerjanya yang sedikit berantakan. Dengan wajah lelahnya, Aruna berjalan gontai menuju lantai dasar. Ya, Aruna bekerja seorang diri ditambah dia menjabat sebagai asisten bosnya.

Bukan hal yang diherankan lagi, jika bosnya itu menyuruh Aruna mengerjakan tugas-tugas yang sebenarnya menjadi tanggung jawab bersama antara dirinya dan bosnya itu. Entah, kenapa bosnya itu suka sekali mempekerjakan Aruna sampai selarut ini. Untung saja gaji yang ia terima sebanding dengan jerih payahnya. Kalau tidak, mungkin saja Aruna sudah mengundurkan diri dari kantor tersebut. Sesekali ia mengeluh kepada orang tuanya, bahwa dirinya ingin sekali mengundurkan diri dan mencari perkerjaan yang lain. Namun, kedua orang tuanya malah melarang Aruna supaya tidak berhenti bekerja di tempat tersebut.

Aruna sudah sampai dipintu keluar, ia menghempaskan nafas beratnya membentuk sebuah kepulan asap yang keluar dari dalam mulutnya. Aruna mengeluarkan ponselnya dari dalam tas, ia membuka layar ponselnya dan menelepon ayahnya. Namun, setelah beberapa menit tak ada jawaban dari seberang telepon. Tiba- tiba saja perasaan cemas menghampiri dirinya, ia merasa telah terjadi sesuatu.

Karna jarak rumah dan kantornya yang tidak terlalu dekat, ditambah sudah larut malam. Aruna harus berlarian menuju rumahnya, deru nafasnya tersengal-sengal bahkan kakinya sudah mulai bergetar. Ia sudah sampai di dekat gang rumahnya, dan berjalan seperti biasanya. Nafasnya masih tak beraturan, sesekali ia menghirup oksigen dalam-dalam untuk memenuhi rongga paru-parunya.

Aruna heran, ia tak mendengar suara ayah atau ibunya. Tidak mungkin kalau mereka sudah tertidur, karena ayah dan ibu Aruna selalu begadang saat pergantian tahun. Bahkan lampu rumahnya-pun mati. Aruna masuk kedalam rumahnya, sunyi nan sepi. Tak ada tanda-tanda kehidupan, ditambah lampu rumah yang di matikan membuat Aruna kembali merasa heran.

Lihat selengkapnya