🍁
“What??”
Hana terkejut dengan penuturan Raichan.
Laki-laki itu tengah bersantai dengan satu toples kue dipelukannya, menceritakan apa yang terjadi di sekolah hari ini, dan Hana cukup terkejut mendengar perlakuan Jeno.
Jeno yang memiliki kesabaran seluas Samudra dan tidak pernah marah itu, memberi pukulan gratis begitu saja pada Mark.
“Gak salah lagi, Jeno beneran suka kamu,” bisik Raichan, agar tidak terdengar oleh ibunda Hana yang sedang memasak didapur.
“Eeeeiii, aku nggak dalam mood bercanda.”
“Bahkan Renjun yang sudah tidak polos juga menafsirkan hal yang sama,” tambah Raichan.
“hhhffttt,, Gak percaya,” tolaknya lagi, mulai mengetikan pesan pada Jeno. Ingin tahu bagaimana keadaan laki-laki itu sekarang.
“Ngapain? Mau ngasih dia harapan lagi?”
Raichan berusaha merebut ponsel Hana.
“Nggak, Cuma mau nanya keadaan Jeno aja.”
“Sama aja kamu ngasih dia harapan,” erang Raichan, memukul Hana dengan bantal sofa.
“Nggak, Jeno tau kalo aku suka Mark, bahkan satu sekolah juga tau kalo Hana suka Mark,” terangnya.
Membuat sang ibu yang sedang berapa didapur menggeleng, mengingat masa mudanya yang sangat bertolak belakang dengan Hana.
.
Hari demi hari dilalui Hana dengan menyendiri dirumah, Yeri dan Mina tidak bisa dihubungi, sepertinya mereka juga mendapat hukuman. Beruntung ada Raichan yang setiap hari datang kerumah Gadis itu, hingga dirinya dibuat tidak kesepian.
Dan hari ini, Hana kedatangan tamu special, Jeno datang mengunjunginya.
Entah mengapa, tiba-tiba Hana merasa canggung dengan kedatangan Jeno. Gadis itu menyuruh Jeno masuk dan memberinya minuman segar.
Peluh di dahi Jeno membuat Hana berfikir jika laki-laki itu dehidrasi, jadi dengan senang hati Hana membuatkan minuman segar untuk Jeno.
“Aku udah nungguin kamu, kok baru datang?”
Hana memecah kesunyian yang mereka ciptakan sejak kedatangan laki-laki itu.
“Ii itu, m mmasalah Lami, aku lagi nyari tau,” bohong Jeno gagu.
Aneh sekali, jantungnya tiba-tiba saja berdebar saat dirinya memandang Hana. Padahal mereka selalu duduk berhadapan, bahkan lebih dari itu. Namun sekarang rasanya agak berbeda setelah Jeno menyadari perasaanya.
“Kamu kenapa? Kok ngomongnya gitu? Rahang kamu sakit ya?” Hana memperhatikan Jeno, membuat laki-laki itu lebih sulit lagi menelan ludahnya.
‘bodoh!’ batin Hana, saat mengingat cerita Raichan beberapa hari yang lalu, Jika Jeno menyukainya.
Gadis itu kembali ke posisi awal, mulai melirik Jeno yang memang terlihat agak berbeda dari sebelumnya.
Oh Tuhan, bagaimana mungkin Jeno yang sangat tampan ini menyukai Hana, rasanya tidak mungkin. Namun kenyataan memang seperti itu.
“Sebenarnya aku pengen ajak kamu keluar,” Jeno akhirnya mengeluarkan uneg-unegnya.
“Hah?......... O Oke, aku siap-siap dulu.”
Hana berlari secepat mungkin ke kamarnya, melepaskan semua kecanggungan itu.
Yah, tidak Hanya Jeno, Hana juga dibuat canggung olehnya.
Sementara Jeno yang ditinggal seorang diri diruang tamu masih berusaha menetralisir detak jantungnya, mengintruksikan seluruh organ tubuhnya agar bersikap seperti biasa dihadapan Hana.
Begitupun Hana, Gadis itu menarik nafas pelan dan membuangnya lebih pelan lagi. Mencoba bersikap senormal mungkin agar dirinya terlihat tidak tahu apa-apa.
“Ayo!” ajak Hana.
Jeno mengangkat kepalanya dan tersenyum manis. Yah, memang seharusnya seperti itu, Jeno memang selalu tersenyum sebelum bertutur kata.
Akhirnya mereka mulai nyaman setelah berada satu atap mobil. Jeno yang sibuk menyetir sesekali melirik Hana yang sibuk melihat jalanan.
Belum seminggu Hana tidak keluar rumah, rasanya banyak yang berubah.
“Kok jalanan beda ya? bahkan ini baru 4 hari,” celoteh Hana.
“Nggak ada yang beda kok,” jelas Jeno.
“Hhmm?? Masa?”
Hana kembali memandang jalanan, baru 4 hari semuanya terlihat berubah, bagaimana kota ini jika Hana tinggalkan selama 4 tahun untuk kuliah. Pasti jalanan lebih luas lagi.
Pantai menjadi tempat pemberhentian mereka, Hana adalah tipe gadis yang suka bermain-main dengan air, jadi Jeno membawanya ke tempat kesukaan Hana.
Lihatlah, bibirnya tak henti tersenyum, gadis itu membiarkan kakinya basah oleh deburan ombak yang mulai mengikis bibir pantai.
Jeno menikmatinya, kecanggungan yang ia buat hilang saat melihat senyum manis itu terukhir. Namun rasa khawatirnya kembali datang saat gadis itu kembali merintih.
Lukanya kembali terbuka saat berlama-lama didalam air. Hal itu membuat Hana harus menghentikan aksi bermain airnya dan mengeringkan kakinya.
“Aku beliin kamu Ice Cream ya… tunggu disini!”
Jeno tak kuasa melihat wajah kecewa Hana, hal itulah yang membuatnya berinisiatif untuk membelikan Ice Cream Vanilla kesukaan gadis itu.
Jeno tau semuanya, kesukaan Hana, ekspresi kecewa dan bahagia gadis itu, sangat mudah untuk dibaca.
17:22 WIB
Senja telah menyapa, terik matahari mulai menguning, keduanya memilih untuk mengakhiri perjalanan singkat mereka.
Sebenarnya Jeno tidak ingin berpisah, ia sangat betah berlama-lama dengan Hana. Namun dirinya harus mengalah pada egonya. Jeno harus mengantar Hana pulang sebelum malam tiba.
“Hana… tangan kamu kok di perban lagi?”