🍁
Raichan keluar ruangan dengan semangat 45. Ponselnya tidak lepas dari telinganya. Jeno pasti sangat bahagia mendengar pesan Hana.
Hana yang sudah tidak sabar bertemu Jeno, tersenyum sendiri di tempat tidurnya.
Yah, Beberapa hari dirumah sakit membuatnya sadar, jika dirinya membutuhkan Jeno. Ia merindukan Jeno selama dirumah sakit.
Tidak ada lagi nama Mark setelah laki-laki itu menyerang Hana dengan kata-kata menyakitkanya. Hana juga sangat lega setelah memberi tahu Mark misi nya.
Kini gadis itu mendudukan diri, mulai meraih ponsel yang baru saja sang ibu belikan, ia berkaca dengan kamera ponsel itu. Memperbaiki rambutnya sebelum bertemu dengan Jeno.
Sayangnya darah itu kembali muncul, bersamaan rasa sakit disekujur tubuh Hana, yang lambat laun membuatnya merintih.
Hana dibuat kewalahan, gadis itu menidurkan kembali tubuhnya dan menarik tisu untuk menghentikan darah yang mengalir. Namun rasa sakit itu semakin menjadi.
“Ma… “ lirihnya.
Hana tidak sanggup lagi bersuara, tubuhnya sangat lemas. Hana butuh bantuan.
Gadis itu mulai mengerang kesakitan, Hana tidak mampu untuk berteriak lagi. ia juga tidak tau bagian mana dari tubuhnya yang sakit.
Hingga gadis itu pasrah. Menikmati rasa sakit yang membuat peluh di dahinya bercucuran, bedcover ditempat tidurnya dibuat berantakan bahkan berceceran.
Hana menarik dan mencengkram apa yang ada ditangannya, menyalurkan rasa sakit yang datang bertubi-tubi menghampiri tubuh kecilnya.
“Dia pasti udah………Hana?!!”
Jeno dan Raichan yang baru saja datang dibuat terkejut oleh gadis itu. Raichan segera berlari memanggil dokter, sementara Jeno menahan Hana yang hampir jatuh dari tempat tidur.
“Hana!!!”
Laki-laki itu terlihat kesulitan menenangkan Hana. Darah berceceran dimana-mana, nafas Hana tercekat dan gadis itu mulai kejang-kejang.
Beruntung dokter datang tepat waktu, hingga gadis itu bisa ditangani dengan cepat oleh dokter.
Jeno mondar-mandir didepan pintu bersama Raichan, sampai saat ibunda Hana datang. Mereka menjelaskan semuanya disana.
Ibunda Hana mendudukan dirinya dan mengusap kepalanya beberapa kali. Wanita paruh baya itu hanya meninggalkan anaknya untuk urusan pengobatan, ia benar-benar menyesal meninggalkan Hana yang sedang kesakitan.
Dokter keluar dari ruangan itu, dan lagi membawa sang ibu bersamanya. Sementara Jeno disuruh masuk oleh Raichan.
Cklekk..
Jeno memberanikan diri untuk masuk, dan memperhatikan Hana yang terkulai lemah disana. Tempat tidur Hana sudah kembali rapi, dan seragam rumah sakitnya juga sudah diganti dengan yang baru.
Jeno melangkah lebih dekat lagi dan memandang Hana. Tangannya terulur untuk mengelus rambut gadis itu, dan membisikan kata maaf untuk Hana.
“Jeno?” lirih gadis itu.
Jeno terkejut, ia lansung memandang Hana dan memaksakan sebuah senyum.
“Maaf, aku ganggu kamu ya?”
“Nggak…..aku kangen kamu Jen,” lirihnya memandang Jeno.
Laki-laki itu memandang Hana lekat dan mulai mengelus kepala Hana.
“Kamu tidur lagi ya, kamu lemes banget.”
Hana menggelengkan kepalanya, matanya berkaca-kaca memandang Jeno.
“Maafin aku……. aku udah nolak kamu… aku udah…… ngasih harapan buat kamu……”
Hana terlihat sangat memaksakan diri untuk berucap, namun gadis itu terlihat senang dengan keberadan Jeno.
“Aku……. butuh kamu Jen….” Lirihnya.
“Aku disini Han, aku bakal temenin kamu.”
Jeno beralih mengecup kening gadis itu dan kembali memandangi Hana.
Jeno sangat terkejut dengan kata-kata Hana, alasan Jeno tidak datang menjenguk Hana karna laki-laki itu tidak sanggup melihat keduanya bersama.
Jeno fikir Hana masih menyimpan perasaan itu pada Mark, namun dirinya dibuat terkejut setelah mendapat panggilan dari Raichan yang mengatakan jika Hana sangat merindukan Jeno.
🍁
Jeno mendorong kursi roda Hana di taman rumah sakit. Rasanya sedikit lega setelah Hana menjelaskan semuanya.
Menjelaskan jika dirinya sudah menolak untuk dijodohkan dengan Mark, dan orang tua keduanya tidak akan memaksakan hal itu.
“Kita berhenti disini ya,” ajak Jeno.
“Kenapa?” tanya gadis itu.
“Karna kamu pasti suka pemandangannya.”
Hana yang masih memandang kearah pergelangan tangannya, seketika mengangkat kepala dang mengedarkan pandangannya.
Gadis itu tersenyum melihat Hamparan Tulip dan Mawar yang menghiasi tempat itu, jangan lupakan kolam air macur yang dikelilingi oleh pengunjung untuk diabadikan.
Lagi, dirinya dibuat tersentuh oleh perlakuan Jeno. Laki-laki yang sangat tau hal sekecil apapun dari Hana, ia selalu merekam kata-kata Hana, ia juga mengabulkan segala mimpi yang pernah Hana buat.
“Jen..” lirih gadis itu.
Jeno yang berada di belakang Hana berpindah posisi ke hadapan gadis itu.
“Bantu aku berdiri ya.”
Belum sempat Jeno memberi jawaban, gadis itu sudah terlebih dahulu menggerakan tubuhnya.
Tidak ada pilihan lain bagi Jeno, selain membantu gadis itu berdiri.
“Hati-hati…” tutur Jeno.
Ia benar-benar mengkhawatirkan gadis itu. Lihatlah bagaimana caranya menjaga Hana, bagaimana dirinya mengikuti kemauan Hana tanpa membuat gadis itu merasa lelah dan terluka.
Hingga kini keduanya duduk disebuah bangku bercat putih didekat kolam air mancur.
Jeno membiarkan bahunya menjadi tempat bersandar Hana. Ia merasa jika gadis itu sangat butuh tempat bersandar, agar dirinya tidak terjatuh ke tanah.