SEOLAH SUDAH tak ada harapan lagi bagi Alice Kanaya yang sedari dulu ia rasakan beragam penderitaan, mulai dari lahir dari keluarga broken home, ibu dan ayahnya terlibat dalam masalah perceraian sejak usia Kanaya menginjak tujuh tahun. Sejak saat itu ia tak pernah merasakan namanya kasih sayang maupun perasaan bahagia. Meskipun kini ia telah bekerja keras berupaya bertahan hidup ditengah-tengah gejolak beban berat tetapi rasanya beribu luka yang selama ini dipendam telah menimbulkan kecemasan mental Kanaya.
Saat ini hidupnya bagaikan penghujung novel romansa dimana bukan lagi tanda koma yang membawanya untuk terus melanjutkan perjalanan hidup seterusnya tetapi diakhiri oleh tanda titik. Itu artinya tak ada lagi kelanjutan cerita selanjutnya.
"Masih banyak makanan enak yang belum dicoba, masih ada banyak orang yang harus kita bahagiakan dan tersenyum ceria ketika melihat kita, ada ribuan serial drama atau film internasional yang harus ditonton, wishlist tempat wisata terkenal yang harus dikunjungi juga telah menanti. Tantangan demi tantangan penuh misteri yang harus kita cicipi dan hadapi. Makanya aku harus terus hidup! Bukannya memilih mati sia-sia seperti ini!"
Alasan-alasan itulah yang kembali menguatkan hati Kanaya yang sebelumnya telah hancur berkeping-keping.
"Selamat! Kamu masih hidup!"
"Tunggu, kenapa ada jam di atas kepalamu ...."
"Ini? Oh, ini adalah penunjuk waktu hitung mundur atau biasa disebut timer. Ada yang ingin kamu tanyakan lagi?"
"Kenapa warnanya putih?"