TIME IS GONE

Dwi Budiase
Chapter #7

[HBD] Ketua OSIS SMA

LANGIT JAKARTA sore itu berwarna kelabu, seolah turut merasakan ketegangan di hati Alice Kanaya saat dia melangkah ke halaman SMA Nasional Jakarta—SMANTA, sebuah sekolah yang dikenal dengan tradisi prestasi dan kedisiplinannya. Ini adalah hari pertama Kanaya sebagai guru Bimbingan Konseling di sana, dan meski sebelumnya ia pernah menghadapi berbagai macam masalah siswa di sekolah-sekolah lain, ada sesuatu yang terasa berbeda kali ini. Ada rasa cemas yang tidak bisa ia abaikan.

Tidak, kecemasan itu tidak datang dari kekhawatiran akan tugas barunya sebagai guru BK, melainkan dari bakat aneh yang selalu menghantuinya: kemampuan untuk melihat *timer* di atas kepala setiap orang. Angka-angka itu bergerak mundur, perlahan namun pasti, menunjukkan berapa banyak waktu yang tersisa sebelum seseorang meninggal.

Kanaya sudah menerima kenyataan itu sejak kecil, namun kemampuan itu tidak pernah membuat hidupnya lebih mudah. Setiap hari, ia dihantui oleh angka-angka yang berputar di atas kepala orang-orang, sebuah pengingat betapa rapuhnya kehidupan. Ia tidak tahu mengapa ia diberi kemampuan ini, tapi ia tahu satu hal: angka-angka itu tidak bohong. Ketika angka berubah merah, artinya waktu seseorang sudah hampir habis.

Setelah menyelesaikan proses administrasi dengan bagian tata usaha, Kanaya diarahkan ke ruang guru BK. Ruangan kecil namun rapi itu memiliki jendela besar yang menghadap ke lapangan sekolah. Ia meletakkan tasnya di meja dan mengambil napas panjang. Sekolah yang baru, murid yang baru, masalah yang mungkin lebih besar dari sebelumnya. Tapi ini adalah panggilan hidupnya: mencegah kehancuran.

Sebelum ia sempat membiasakan diri dengan ruang barunya, pintu diketuk dengan lembut. Seorang wanita berambut pendek masuk, tersenyum hangat. “Ibu Kanaya, ya? Saya Nining, Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan,” ucapnya ramah.

Kanaya membalas senyuman itu dan mengangguk. "Betul, Bu Nining. Senang bertemu dengan Anda."

Setelah percakapan basa-basi, Bu Nining mulai menjelaskan peran Kanaya di SMANTA. “Tugas utama Ibu di sini adalah menangani siswa-siswa yang mengalami masalah, baik akademis maupun personal. Seperti yang mungkin sudah Ibu ketahui, kami punya tradisi yang sangat ketat di sini, dan tekanan untuk berprestasi sering kali membuat beberapa siswa… hancur. Itulah mengapa peran Ibu sangat penting.”

Kanaya mendengarkan dengan seksama. Dia tahu ini bukan sekadar pekerjaan biasa. Banyak nyawa di tangannya, bukan hanya dalam arti bimbingan akademis, tapi lebih dari itu—mencegah mereka melangkah terlalu jauh di jalan yang berbahaya.

“Ah, ya,” lanjut Bu Nining, “besok Ibu akan bertemu dengan para calon ketua OSIS baru. Salah satu dari mereka, Satya, cukup menonjol. Dia sangat berbakat, tapi ada beberapa isu yang membuat kami khawatir.”

Nama itu membuat telinga Kanaya menangkap sinyal penting. “Satya?” tanyanya, sedikit penasaran.

“Ya, Dwi Satya. Siswa kelas 11, calon kuat untuk menjadi ketua OSIS yang baru. Tetapi, dia terlihat agak tertutup belakangan ini, dan kami khawatir ada sesuatu yang mengganggunya. Saya ingin Ibu Kanaya melihat lebih dekat dan memastikan semuanya baik-baik saja.”

Kanaya mengangguk. Dia akan memeriksa Satya lebih lanjut. Naluri di dalam dirinya merasakan ada yang lebih dari sekadar masalah biasa. Saat Bu Nining meninggalkan ruangan, Kanaya menarik napas panjang dan membiarkan matanya tertuju pada pintu, menanti hari esok.

Lihat selengkapnya