TIME IS GONE

Dwi Budiase
Chapter #9

Happy Birth-Die

[Kegelapan di Tengah Perayaan]

Langit sore di SMA Nasional Jakarta (SMANTA) tampak cerah. Angin sepoi-sepoi membawa udara yang sejuk, menambah suasana meriah di sekitar kolam renang sekolah. Suara tawa dan canda tawa terdengar memenuhi area tersebut. Semua orang hadir untuk merayakan ulang tahun Satya, ketua OSIS yang baru saja terpilih. Teman-teman dekatnya memutuskan untuk memberikan kejutan yang mereka anggap seru, tanpa menyadari konsekuensi yang akan datang.

Kanaya berada tidak jauh dari sana, berdiri di tepi halaman yang menghadap kolam renang. Meski ia merasa bangga atas keberhasilan Satya, ada sedikit kekhawatiran yang belum hilang. Angka merah di atas kepala Satya masih tampak jelas, meski angkanya mulai melambat sejak pemilihan. Kanaya tahu bahwa angka itu bukan sekadar tanda, melainkan sebuah peringatan akan sesuatu yang berbahaya.

Di sisi lain kolam, Satya tertawa bersama teman-temannya, tak menyadari bahwa sebentar lagi sebuah insiden mengerikan akan terjadi. Beberapa temannya mulai berbisik, memberi isyarat satu sama lain, mengatur rencana kejutan yang mereka persiapkan dengan baik. Tanpa aba-aba, salah satu dari mereka dengan tawa keras berlari dan mendorong Satya ke kolam.

"Surprise!" teriak mereka dengan riuh.

Satya terjatuh ke dalam air dengan keras, mencipratkan air ke segala arah. Gelak tawa pecah di sekitar kolam, seakan-akan semuanya berjalan sesuai rencana. Beberapa siswa merekam kejadian itu dengan ponsel mereka, mengabadikan momen yang mereka anggap sebagai lelucon yang lucu. Tapi hanya dalam hitungan detik, sesuatu yang aneh mulai terjadi.

Satya tidak muncul kembali ke permukaan.

Tawa teman-temannya perlahan mereda, dan mereka mulai saling pandang, bingung. "Satya, ayo keluar! Jangan bercanda!" salah seorang temannya berteriak dari tepi kolam.

Namun, Satya masih tidak terlihat. Beberapa detik kemudian, gerakan samar muncul di permukaan air, disusul oleh suara teriakan ketakutan dari Satya. Dia mengayunkan tangannya ke segala arah, air menciprat, dan tatapan paniknya jelas terlihat. Dia tidak bisa berenang.

"Ada apa ini?" teriak salah satu temannya, merasa cemas.

"Tunggu, dia bisa berenang atau nggak?"

"Semua orang bisa berenang kan—"

"DIA TENGGELAM! CEPAT, SELAMATKAN SATYA!"

Dalam sekejap, suasana berubah dari meriah menjadi mencekam. Satya terus berusaha meraih tepi kolam, tapi gerakannya kacau. Teman-teman yang semula tertawa, kini mulai panik. Beberapa dari mereka melompat ke dalam air, berniat menolong, tapi justru menambah masalah. Mereka tidak menyadari bahwa kolam renang sekolah ini lebih dalam dari yang mereka kira. Mereka berusaha menggapai Satya, tapi justru kehilangan kendali dan mulai tenggelam sendiri.

Suasana di sekitar kolam semakin kacau. Teriakan panik menggema di udara. Kanaya, yang mendengar keributan dari jauh, langsung berlari ke arah kolam. Jantungnya berdegup kencang, dan firasat buruk mulai menghantui pikirannya. Ketika ia sampai di tepi kolam, pemandangan yang dilihatnya membuat darahnya berdesir. Satya dan beberapa siswa lainnya kini tenggelam, berusaha bertahan di permukaan air yang semakin mendorong mereka ke bawah.

"Satya!" teriak Kanaya, panik. Tanpa berpikir panjang, dia berlari ke arah gedung utama, mencari bantuan. Ia melihat petugas keamanan sekolah atau satpam yang sedang bertugas tidak jauh dari sana dan segera memanggilnya.

"Pak! Tolong, mereka tenggelam di kolam renang! Kita harus segera menolong mereka!" kata Kanaya sambil terengah-engah.

Pak Satpam, tanpa banyak bertanya, segera mengambil tindakan. Dengan cepat, ia menuju kolam bersama Kanaya. Di kolam, beberapa siswa yang masih berdiri di tepi kolam mencoba memberikan tangan mereka untuk menarik yang lain keluar, tetapi kondisi semakin sulit. Teriakan ketakutan terus terdengar, menciptakan suasana yang penuh dengan kepanikan.

Dengan sigap, Pak Satpam melompat ke dalam air dan mulai menolong satu per satu korban yang tenggelam. Kanaya, yang berdiri di tepi kolam, berusaha tetap tenang. Tetapi ketika ia melihat Satya, masih berusaha keras untuk bertahan, kepanikannya meningkat.

"Ayo, Satya! Kamu bisa bertahan!" bisik Kanaya, berharap keajaiban akan terjadi. Angka merah di atas kepala Satya tampak berkilauan, lebih cepat dari sebelumnya. Kanaya tahu ini adalah tanda buruk, tapi ia tidak bisa menyerah. Ia terus berharap bahwa mereka akan segera bisa menyelamatkan Satya.

Setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, Pak Satpam dan beberapa siswa yang akhirnya berhasil keluar dari air mulai menarik Satya ke tepi kolam. Kondisi Satya sudah lemah, tubuhnya lunglai dan tidak sadarkan diri.

"Tolong panggil ambulans!" teriak salah seorang siswa.

Kanaya segera menghubungi ambulans, tangannya gemetar saat mengetik nomor darurat. Suasana semakin mencekam saat Satya diangkat ke tepi kolam, tidak ada gerakan dari tubuhnya. Beberapa siswa mulai menangis, melihat kondisi teman mereka yang sekarat.

Tak lama kemudian, sirine ambulans terdengar di kejauhan. Petugas medis dengan cepat datang dan mengevakuasi Satya serta beberapa korban lain yang juga mengalami masalah pernapasan akibat tenggelam. Di tengah kekacauan itu, Kanaya tetap berdiri di samping Satya, perasaan bersalah mulai menghantui dirinya. Apakah ada sesuatu yang bisa dia lakukan sebelumnya untuk mencegah semua ini? Apakah dia seharusnya lebih peka terhadap firasat buruk yang ia rasakan sejak awal?

Lihat selengkapnya