HARI PERTAMA Kanaya memulai pekerjaan barunya sebagai penyiar radio di acara “Suara Kita, Suara Remaja!” terasa sangat bersemangat. Ia duduk di depan mikrofon, mengenakan headphone besar yang menempel di telinganya. Di depannya, layar komputer menampilkan daftar lagu-lagu hits terbaru yang siap ia putar untuk para pendengar setia—kebanyakan anak sekolah yang selalu menantikan musik sebagai teman hari-hari mereka.
“Selamat pagi, teman-teman semua!” Kanaya membuka acaranya dengan suara ceria yang penuh energi. “Kembali lagi di ‘Suara Kita, Suara Remaja!’ dengan aku, Kanaya, di sini. Siap buat bikin hari kalian lebih seru dengan lagu-lagu hits dan cerita-cerita seru dari kalian!”
Ia memutar lagu pertama, sebuah hit terbaru dari band lokal yang sedang digandrungi oleh anak-anak SMA. Setelah lagu berputar, ia mulai membuka kolom pesan yang masuk dari para pendengar setia. Seperti biasa, pesan-pesan ini berisi sapaan hangat, permintaan lagu, dan terkadang curhatan ringan tentang tugas sekolah atau percintaan remaja.
“Ini ada pesan dari Dian di SMAN 12 Jakarta. Katanya lagi galau berat nih gara-gara tugas matematika numpuk!” Kanaya tertawa kecil. “Dian, tenang aja, pasti bisa diselesaikan kok. Kita puterin lagu favorit kamu ya, semoga bisa bikin semangat lagi!”
Di sebelahnya, rekannya yang selalu ceria, Kaori, ikut nimbrung. Kaori dikenal sebagai penyiar yang suka melontarkan pantun-pantun kocak dan komentar-komentar menggemaskan yang selalu membuat pendengar tertawa.
“Aku juga punya pantun buat Dian!” Kaori menyela dengan semangat. “Pergi ke pasar beli ikan kakap, tugas Matematika nggak akan selesai kalau cuma ditatap!” Suara tawa Kaori memenuhi ruangan.
Kanaya tertawa mendengarnya. “Tuh, Dian! Jangan cuma dilihat tugasnya, dikerjain juga, ya!” sambungnya sambil memutar lagu yang diminta.
Sepanjang pagi itu, mereka berdua saling melemparkan candaan, membacakan pesan-pesan dari para pendengar, dan memutar berbagai lagu hits yang sedang digemari. Suasana studio radio penuh dengan keceriaan dan tawa, seakan-akan energi positif itu menular lewat udara ke setiap pendengar di luar sana.
Namun, di tengah riuhnya pesan-pesan ceria yang masuk, ada satu pesan yang menarik perhatian Kanaya. Pesan itu sederhana, tapi berbeda dari yang lainnya. Tanpa embel-embel tawa atau permintaan lagu. Sebuah pesan yang pendek, tapi memiliki beban emosional yang terasa mendalam.
"Hei, namaku Sam. Aku cuma mau bilang, hidupku terasa sepi. Aku nggak punya siapa-siapa."