"BAHKAN SAKING rindunya dengan keluarga, nenek sengaja menghubungi polisi. Untuk apa? Untuk menemani nenek makan masakan hari raya lebaran yang enak! Awalnya polisi itu terkejut tetapi akhirnya dia membantu nenek memasak dan kami makan bersama. Lucu, bukan?"
"Ya, lucu sekali, Nek."
Kanaya tahu, itu tidaklah lucu.
****
Pagi itu, sinar matahari yang hangat menembus tirai jendela dapur rumah Nenek Mei, mengiringi langkah-langkah kecil yang sibuk menyiapkan hidangan untuk perayaan lebaran. Kanaya, Zoe, dan Nenek Mei sibuk dengan berbagai kegiatan di dapur, memastikan semua persiapan berjalan lancar. Wajah Nenek Mei tampak ceria meskipun keriput di wajahnya memperlihatkan betapa lelah dan tuanya tubuh itu. Namun semangatnya untuk menyambut hari istimewa ini tidak pernah surut.
"Aku ingin masak opor ayam hari ini," ujar Nenek Mei dengan senyum samar. "Kakekmu dulu sangat suka. Dia bilang, rasa masakanku tak pernah berubah, selalu enak."
Kanaya memandang Nenek Mei dengan perasaan campur aduk. Ada rasa haru dan kesedihan yang menyesap di dalam dirinya. "Rasa mungkin tetap sama, Nek," bisik Kanaya sambil terus mengaduk kuah opor di panci besar. "Tapi tidak dengan kenangan ... kenangan yang membuatnya jadi istimewa."
Nenek Mei terdiam sejenak, pandangannya menerawang ke masa lalu yang jauh. "Dulu, aku selalu menyiapkan ini untuk lebaran bersama kakek dan anak-anak. Lalu cucu-cucuku datang, berebutan kue nastar di meja ... Semua tampak begitu sempurna. Sekarang, sudah beberapa tahun belakangan, lebaran terasa sepi." Suaranya terdengar berat saat menyebut kata 'sepi.'
Zoe yang berdiri di sebelah Nenek Mei, sibuk dengan adonan kue nastar, mengangguk pelan. "Aku masih ingat rasanya, Mei. Kue nastarmu selalu lembut, manis, dan selalu bikin aku rindu dengan lebaran di masa kecil."
Nenek Mei tertawa kecil, tetapi tawa itu disertai dengan genangan air mata yang mulai membasahi sudut matanya. "Semua rasanya tetap sama... tapi kenangan itu sudah jauh berlalu." Ia berhenti sejenak, tatapannya kini kosong, seperti berbicara kepada seseorang yang sudah lama hilang. "Kini aku memasak untuk lebaran sendirian. Tak ada lagi yang datang ... tak ada lagi keramaian."
Kanaya yang mendengar itu segera mendekati Nenek Mei, menaruh tangannya di bahu nenek. "Nenek nggak sendirian," kata Kanaya dengan lembut. "Kami di sini bersamamu. Dan siapa tahu, mungkin lebaran kali ini akan berbeda."
Nenek Mei hanya tersenyum samar, tidak ingin membuat Kanaya khawatir. Namun, air mata itu tidak bisa ia tahan. Perlahan, ia meletakkan piring berisi opor ayam dan kue nastar di atas meja makan. Tangan-tangannya gemetar, dan sebutir air mata jatuh ke permukaan meja yang sudah diatur rapi.
"Lebaran kali ini... lebaran yang sepi tanpa keluarga," bisiknya pelan, seakan berkata kepada dirinya sendiri.
Suasana hening. Zoe berhenti mengaduk adonan, Kanaya menatap dalam-dalam ke arah Nenek Mei, merasa perih melihat wanita tua itu merayakan hari besar sendirian selama bertahun-tahun. Meskipun Kanaya dan Zoe ada di sana, perasaan kosong karena ditinggalkan keluarganya tetap tak tergantikan.