TIME IS GONE

Dwi Budiase
Chapter #17

[KAYU] Senyuman Di Antara Kesedihan

KANAYA TERSENYUM penuh rasa syukur saat menerima gaji pertamanya sebagai perawat lansia. Keluarga nenek Mei tidak hanya mengucapkan terima kasih yang dalam atas dedikasi dan perhatian yang diberikan kepada sang nenek, tetapi mereka juga memberikan kejutan yang luar biasa. Mereka menghadiahkan Kanaya tiket pesawat gratis untuk liburan selama dua minggu ke Wakatobi—sebuah destinasi impiannya. Dengan hati berbunga-bunga, Kanaya merasa seolah semua jerih payahnya selama ini akhirnya terbayar. Liburan ini adalah momen yang ia nantikan, kesempatan untuk melepas penat dari keseharian merawat nenek Mei.

Hari itu, dalam perjalanan menuju bandara, Kanaya tidak bisa berhenti tersenyum. Ia membayangkan dirinya menikmati sunset di pantai-pantai indah Wakatobi, mencicipi hidangan lokal, dan merasakan deburan ombak yang tenang. Namun, di tengah kegembiraannya, terselip kesadaran bahwa misi hidupnya—menyelamatkan nyawa orang-orang yang ia lihat dalam angka merah—masih terus berlanjut, meski sedang berlibur. Pikiran itu membayangi langkah-langkahnya saat ia bersiap untuk petualangan barunya.

Setibanya di Wakatobi, Kanaya terpesona oleh keindahan alamnya yang luar biasa: laut biru yang jernih, karang-karang yang indah, dan keramahan penduduk lokal yang menyambut dengan senyum lebar. Namun, di balik senyuman anak-anak kecil yang berlarian di tepi pantai, ia merasakan ada sesuatu yang tak sepenuhnya cerah. Ada kesedihan yang terpendam, sesuatu yang tak bisa mereka sembunyikan.

Saat Kanaya berbincang dengan beberapa anak-anak lokal, ia terkejut mendengar cerita tentang jembatan tua yang sering mereka gunakan. Jembatan itu, yang sudah keropos dan berlubang di beberapa tempat, menjadi rute satu-satunya menuju sekolah mereka. Dengan wajah polos, seorang anak perempuan bercerita bahwa kakinya sering terluka setiap kali harus berlari di atas jembatan itu. Banyak teman-temannya juga pernah jatuh, tergores, bahkan hampir tercebur ke laut.

Hati Kanaya tersentuh. Rasa bahagia yang ia rasakan sejak pagi berubah menjadi kesedihan saat mendengar keluhan anak-anak itu. Mereka hanya ingin bermain dan pergi ke sekolah dengan aman, namun kenyataan hidup mereka jauh dari kata mudah. Kanaya tidak hanya melihat masalah infrastruktur, tetapi juga melihat angka-angka merah yang muncul di atas kepala anak-anak itu—pertanda bahaya yang mengintai.

Selama liburan itu, meskipun ia menikmati keindahan Wakatobi, Kanaya tahu ada sesuatu yang harus dilakukan. Tugasnya sebagai penyelamat nyawa tidak pernah selesai, bahkan di tempat seindah ini. Kini, misi barunya adalah memastikan suara anak-anak Wakatobi didengar, agar mereka bisa hidup dengan lebih aman dan bahagia tanpa harus takut terluka di jembatan keropos yang sudah terlalu lama diabaikan.

Langit sore di Wakatobi mulai merona jingga, menambah keindahan yang selalu Kanaya kagumi sejak ia tiba. Namun, sore itu tak hanya diisi dengan keindahan alam. Saat duduk bersama anak-anak lokal yang berkumpul di tepi pantai, tawa ceria mereka tiba-tiba memudar ketika salah satu dari mereka, seorang anak laki-laki bernama Farid, mulai bercerita.

"Kak, tahu nggak? Jembatan kayu di sana tuh, udah rusak parah. Tiap hari kami harus lewat sana buat ke sekolah," ucap Farid sambil menunjuk ke arah jembatan yang menghubungkan desa mereka ke area sekolah.

Lihat selengkapnya