Kanaya duduk di tepi pantai Wakatobi, merasakan angin lembut yang mengelus wajahnya. Di hadapannya, ombak kecil menari di permukaan laut, sementara anak-anak lokal berlarian di pesisir pantai yang mulai surut. Mereka tertawa riang, membawa ember kecil untuk mencari ikan, udang, dan hewan laut lainnya yang bersembunyi di balik terumbu karang. Di langit, senja mulai merona kemerahan, memberikan nuansa tenang pada panorama indah yang membentang luas di hadapan Kanaya.
Di sela-sela senyum bahagia anak-anak itu, Kanaya merasakan keindahan ini bercampur dengan rasa sedih. Dia mengingat keluhan warga tentang jembatan penghubung antar rumah yang sudah tak layak lagi. Jembatan kayu yang rapuh, bolong di sana-sini, tak hanya menyulitkan akses, tetapi juga membahayakan nyawa. Meski Wakatobi dianugerahi keindahan alam yang luar biasa, masyarakatnya masih jauh dari kata merdeka. Saat Indonesia bersiap merayakan Dirgahayu yang ke-79, warga Wakatobi masih belum merasakan kemerdekaan yang sejati.
Kanaya memutuskan untuk bertindak. Malam itu, saat bintang mulai berkelip dan anak-anak lokal membawa lentera untuk menerangi jalanan gelap, ia menghidupkan ponselnya dan memulai live streaming. Dengan latar belakang pantai Wakatobi yang indah, ia berbicara kepada ribuan penontonnya. Suaranya lembut tapi penuh tekad.
“Selamat malam, teman-teman. Saat ini aku berada di Wakatobi, sebuah tempat dengan keindahan alam yang luar biasa, namun sayangnya masih banyak warga di sini yang hidup dalam kesulitan. Jembatan-jembatan penghubung yang sudah tak layak pakai membuat kehidupan mereka berbahaya setiap hari. Mereka belum benar-benar merdeka, meski kita akan segera merayakan kemerdekaan Indonesia yang ke-79."
Kanaya melanjutkan, menyampaikan keluhan warga yang ia dengar selama observasinya. “Aku telah berbincang dengan warga setempat, dan masalahnya nyata. Anak-anak di sini, meski ceria berlarian di pesisir, harus berjalan dengan hati-hati di jembatan yang bisa saja runtuh kapan saja. Mereka tak seharusnya hidup dalam ketakutan setiap hari hanya karena infrastruktur dasar yang tak memadai."
Selama berbicara, kamera menangkap gambar-gambar anak-anak yang bermain di tepi pantai, para warga yang membawa ember mencari udang dan ikan saat laut surut, serta keindahan Wakatobi yang memukau. Kombinasi keindahan dan keluhan nyata ini menciptakan kontras yang kuat, menggugah emosi para penontonnya.
Komentar di live streaming mulai membanjiri layar. Banyak yang memberikan semangat, dukungan, bahkan beberapa menyatakan siap berdonasi untuk membantu memperbaiki jembatan yang rusak.
"Ayo, kita bantu mereka!"
"Kak Kanaya, kami bersama kamu! Wakatobi harus berubah."
"Bagaimana caranya berdonasi? Kami ingin ikut ambil bagian."
Kanaya tersenyum, hatinya penuh haru. "Terima kasih teman-teman, atas semua dukungan kalian. Kalian bisa ikut berdonasi melalui link yang aku siapkan di bio. Mari kita bersama-sama membantu saudara-saudara kita di Wakatobi agar mereka juga bisa merasakan arti kemerdekaan yang sesungguhnya."
Setelah live streaming selesai, Kanaya duduk sejenak di tepi pantai. Dia menatap bintang-bintang di langit malam yang terang. Sore itu benar-benar indah, bukan hanya karena keindahan alam Wakatobi, tetapi karena dia tahu, bersama dengan ribuan orang lainnya, mereka bisa membawa perubahan bagi masyarakat di sana.
Langit malam semakin gelap, dan suara lentera yang bergoyang perlahan-lahan menghiasi malam. Tapi di hatinya, Kanaya tahu, cahaya harapan sudah mulai menyala di Wakatobi.
****
Langit senja di Wakatobi selalu berhasil memikat hati Kanaya. Warna kemerahan di langit yang perlahan berubah menjadi jingga hingga lembayung membuat segalanya terlihat sempurna. Di hadapannya, anak-anak lokal masih berlarian di tepi pantai yang sudah mulai surut, tawa mereka melambung, memenuhi udara sore itu dengan kegembiraan yang tulus. Meski banyak keluhan yang didengar Kanaya dari para warga soal jembatan rusak yang tak kunjung diperbaiki, keindahan alam dan semangat hidup masyarakat membuat segalanya terasa begitu hangat.