SEPERTI BUTIR debu yang tertiup angin, kenangan Nenek Mei mulai perlahan menghilang. Kanaya duduk di samping ranjang rumah sakit, matanya menatap sedih ke arah dokter yang baru saja memberikan diagnosis. Alzheimer, penyakit yang akan merenggut sisa-sisa ingatan Nenek Mei, meninggalkan kekosongan di dalam diri yang tak mungkin bisa diisi lagi. Masa lalu nenek, keluarganya, wajah anak-anak dan cucu-cucunya, semua akan sirna seiring berjalannya waktu.
“Dia akan mulai kehilangan ingatan tentang hal-hal penting dalam hidupnya,” kata dokter dengan suara rendah. “Mungkin dia tidak akan ingat siapa dirinya, atau siapa orang-orang di sekelilingnya.”
Kanaya menelan ludah, terasa begitu sulit. Ia menoleh ke arah Nenek Mei, yang sedang duduk di kursi roda dengan tatapan kosong, seakan berada di dunia yang berbeda. Wanita tua itu masih memiliki fisik yang cukup kuat, tetapi pikirannya kini mulai hilang, tersesat dalam kabut masa lalu yang perlahan memudar.
“Nenek, semuanya akan baik-baik saja,” kata Kanaya dengan suara lembut, meski hatinya sendiri meragukan kata-kata itu. Ia menggenggam tangan Nenek Mei erat-erat, berusaha menyalurkan sedikit kekuatan.
Nenek Mei mengerjapkan mata, lalu tersenyum lemah. “Apa kamu bilang sesuatu, Sayang?”
Kanaya tersenyum getir, menyadari bahwa nenek bahkan mungkin sudah mulai melupakan siapa dirinya. Tapi Kanaya tak menyerah. Ia ingin membantu Nenek Mei mempertahankan kenangan-kenangan penting itu, setidaknya selama yang ia bisa.
Dengan hati-hati, Kanaya mengambil sebuah album foto dari tasnya. Di dalamnya, ada foto-foto lama yang berhasil ia kumpulkan sejak ia merawat Nenek Mei. Foto-foto masa muda nenek bersama mendiang kakeknya, anak-anak dan cucu-cucunya ketika mereka masih kecil. Ia menunjukkannya satu per satu, berharap bisa memicu ingatan nenek kembali.
“Lihat ini, Nek,” ujar Kanaya sambil memperlihatkan sebuah foto tua. “Ini foto Nenek sama Kakek. Waktu kalian pertama kali liburan ke pantai, ingat?”
Nenek Mei memandang foto itu dalam diam, tatapannya tajam, namun kosong. Lalu, perlahan, dia mengerutkan kening. “Ah... ini... ya, aku ingat. Kami dulu sering pergi ke sana...”
Kanaya tersenyum lega. “Iya, betul sekali, Nek. Kakek bilang waktu itu nenek paling suka berenang, kan?”
Nenek Mei tertawa kecil. “Iya, dia selalu takut aku terlalu lama di air. Dia khawatir, tapi aku selalu bilang aku baik-baik saja.”
Kanaya tertegun, menyadari bahwa ada momen singkat di mana Nenek Mei masih bisa mengingat masa lalunya. Ia terus memperlihatkan foto-foto lain, satu per satu, berharap bisa mempertahankan sebanyak mungkin kenangan sebelum semua benar-benar menghilang.
Namun, meskipun Nenek Mei masih mengenali beberapa foto, Kanaya tahu waktu mereka terbatas. Angka merah yang terus menghitung mundur di atas kepala Nenek Mei mengingatkannya bahwa waktu yang tersisa semakin sedikit. Di luar, dunia terus bergerak, sementara Nenek Mei semakin tersesat dalam pikirannya sendiri.