Gina menunggu Jay yang tak ia temukan sedari pagi, sejak tiba di villa itu. Ia memang telah terbiasa menginap di sana, karena tempat Jay jauh dari kota sehingga ia mengandalkan Jay untuk mengantarkannya pulang. Waktu kecil mereka tinggal bertetangga. Keluarganya menjual rumah mereka kepada keluarga Jay dan lebih memilih tinggal di kota untuk kepentingan karir ayah Gina. Oleh keluarga Jay, sebenarnya rumah tersebut berfungsi sebagai villa, tetapi entah mengapa Jay selalu kerasan tinggal di villa tersebut lalu menjadikannya rumah dan studio bagi kegiatan kreatifitasnya.
Sambil menunggu sang pemilik rumah ketika hari mulai gelap, Gina memutuskan untuk mandi di kamar Jay. Ia tak sungkan mengambil t-shirt dan piyama milik Jay sebagai baju ganti; akibat tak berencana menginap di villa hari itu, ia tak membawa baju ganti. Ada hal penting yang ia ingin bicarakan menyangkut pekerjaan mereka sebenarnya. dengan sepengetahuan pembantu Jay yaitu Bi Nah, ia memasuki kamar itu dan menumpang mandi di sana. tetapi sebelum berhasil melakukannya... Ketika memasuki kamar mandi yang sangat minimalis dan modern itu, walau rumah itu jika dilihat dari luar tampak seperti rumah jaman Belanda. Entah bagaimana, Jay mampu membuat interior villa-nya itu menjadi serba modern dan minimalis. Memang, orang kreatif tak bisa dimengerti jalan pikirannya, selalu punya cara untuk menciptakan sesuatu yang orsinil dan mengejutkan.
Gina hampir menanggalkan pakaiannya untuk mandi, tetapi ia seperti diawasi, membuatnya tak nyaman dan mengurungkan niatnya untuk mandi. Di ujung kamar mandi tampak sepatu laki-laki. Kemunculannya seperti bayangan yang redup, layaknya virtual reality yang tidak tegas, terpixelisasi seperti wujud games minecraft. Layaknya gangguan sinyal internet yang terputus-putus atau gambarnya mengalami jamming. Saat Gina membalikkan badannya ke arah sepasang sepatu itu demi memastikan perasaan ‘seperti diawasi’ tersebut, gambaran itu lenyap tanpa jejak.
“Jayyyy…! Jangan ngintip yah.” teriak Gina di kamar mandi, tetapi tetap membatalkan untuk mandi saat itu, lalu keluar kamar mencari Bi Nah untuk memastikan dugaannya.
“Bi Nah…, Jay sudah pulang?” tanya Gina langsung ketika menemukannya. Ia pun mengurungkan niatnya untuk mandi, takut Jay nge-prank dirinya dan berhasil mencuri lihat tubuhnya. Walau bagaimanapun Jay adalah cowok straight, walau terkadang seorang fashion designer laki-laki cenderung memiliki orientasi seksual sejenis bukan heteroseksual.
Bi Nah menjawab; “Belum, Non. Itu cuma suara Pak Narto. Suami Bibi yang pulang dari kebun.”
“Non Gina, mau makan apa malam ini? Non makan malam di sini kan?” Pak Narto habis panen daun selada, kale, sawi pagoda, tomat, dan daun bawang juga. Mau bibi buatkan salad?”
“Boleh Bi, sama teh manis hangat pakai lemon yah?”
“Lemonnya tahu ada, tahu nggak Non, nanti bibi cek di kulkas; kalau gak ada pakai jeruk nipis aja yah?”
“Baik Bi, Makasih.”
Dalam hati, Gina menikmati ketika terpaksa harus menginap di tempat itu karena Bi Nah itu pintar membuat masakan khas kesukaan Jay, yang juga cocok dengannya dan Jay adalah vegetarian yang masih toleran terhadap susu dan telur tetapi tidak pada daging-dagingan atau yang mengharuskan membunuh binatang. Tepatlah jika tempat itu digunakan untuk meditasi dan yoga plus detox, karena semua sayuran berasal dari kebun sendiri. Udaranya sejuk dan segar karena jauh dari perkotaan. Jay itu paling anti makan-makanan yang terlalu banyak diproses seperti sosis. Terlebih, ia sudah sepuluh tahun menjadi vegetarian. Bi Nah dan Pak Narto pun cocok dengan gaya hidup seperti itu, makanya semuanya pada sehat tinggal di villa itu. Beruntunglah Jay.
Walaupun villa milik Jay itu rumah tua, sebenarnya tak berhantu juga tetapi entah mengapa di kamar mandi tadi Gina merasakan kehadiran seseorang. Ia menduga Jay; tetapi tak ada tanda-tanda bahwa Jay telah kembali. Handphonenya susah dihubungi, seperti dimatikan atau lowbatt. Walau pertemanan mereka telah lama; mungkin seumur hidup Gina mengenal seorang Jay. Ia yang menemani masa-masa berduka Jay , saat kehilangan kedua orangtuanya akibat kecelakaan mobil. Tetapi, tetap saja Jay penuh misteri, seperti kepergiannya hari ini, padahal sebelum Gina berangkat Ia sudah berjanji akan menunggunya untuk membicarakan koleksi terbaru brand pakaian mereka. Setibanya di sana; Jay menghilang. Padahal mobilnya ada, cuma sepeda ontelnya yang tidak ada di garasi, harusnya Jay bepergian tak jauh dari rumahnya kalau hanya mengendarai sepeda. Tetapi sejak ia sampai di rumah itu pukul 09.00 sampai menjelang pukul 17.00 sekarang ini, kemunculan Jay masih tak terdeteksi, walau di kamar mandi tadi seperti ada bau-bau parfumnya. Tetapi itu kan kamar mandinya, botol parfumnya juga ada di situ.
Setelah yakin Jay tak ada, Gina akhirnya mandi juga dan mengganti pakaiannya dengan baju tidur hasil jarahan di lemari pakaian milik Jay.
Di ruang kerja Jay, terlihat sekelibat remang-remang pada temboknya seolah-olah terbuka dan menampilkan padang gurun. Padahal Villa Jay itu berada di pegunungan. Jay terlihat berjalan kelelahan sambil menuntun sepeda ontelnya, di lengannya ada luka. Luka goresan. Jay menanggalkan kostum yang ia kenakan saat itu. Sekarang ditubuhnya hanya tersisa boxer, karena seluruh pakaiannya sudah berdebu dan telihat aneh jika ia pakai di rumah. Tubuh Jay tegap dan cukup berotot, walau tidak sixpack. Ia berjalan ke arah kamarnya, ingin segera merendamkan diri di bathtub-nya.
Ketika hampir memasuki kamarnya ia baru ingat Gina ada di sana, ia pun teringat akan janjinya pagi tadi. Jay menunggu di luar kamarnya, karena kamarnya pun terkunci dari dalam. “Dasar Gina, suka sok cantik! Gue nggak nafsu sama lo, tahu! Lo dah kayak adik sendiri.” Umpat Jay dalam hati. Padahal sedari kecil mereka sering mandi bareng, main air hujan, berenang di sungai dan juga seringkali saling meminjam t-shirt.
Dengan boxernya ia ke dapur menghampiri Bik Nah yang sedang menyiapkan makan malam.
“Eh, Mas Jay sudah pulang. Ini Bibi buatin salad, daun kale-nya mau dijus apa dibuat salad sekaligus?”
“Jus aja Bi, campur perasan jeruk deh. Buatin sekarang yah, terima kasih Bi Nah sayang.”
“Aduh itu darah kenapa? Habis ngapain Mas? Pak, ambilin kotak P3K Pak, Mas Jay berdarah nih.”
Dengan tergopoh-gopoh Pak Narto mendatangi panggilan istrinya dengan kotak P3K. Lalu dengan sigap ia mengobati luka majikannya itu. Jay meringis saat diusapkan kapas beralkohol pada lukanya. Pasangan suami istri yang bekerja di rumah Jay itu, sudah menganggap Jay seperti anak mereka sendiri, terlebih mereka tak memiliki anak. Pak Narto membalut luka goresan pada lengan Jay dengan perban, karena lukanya cukup besar.