✧Kayca Indhira✧
Tujuh belas tahun bagi Kayca adalah angka yang pas untuk melalukan aksi menyenangkan nan menegangkan, sedikit. Contohnya membolos pada jam pelajaran guru yang dikenal bisa membaca pikiran.
Ah, takhayul urusan belakang, pikirnya.
"Lo belum selesai 'kan, Git? Gue agak lama karena ditodong sama Bayu. Emang ngeselin banget tuh anak curut! Keponya ngelebihin admin Lambe Turah! Awas aja kalau gue udah balik nanti, gue kasih perhitungan dia!" celotehnya sembari melihat ke arah kanan dan kiri koridor sekolah. Ponselnya yang tersambung mode telepon itu dibiarkannya menggantung di leher.
"Udah." Terdengar jawaban dari gadis dengan nama 'Pakar Tugas' di kontak ponsel Kayca.
Kayca ber-hah tidak mengerti. Temannya memang irit bicara, juga dingin, dan wajahnya selalu sedatar tripleks meja. Kecuali kalau di depan kamera wartawan. Beuh, langsung berubah menjadi gadis ceria nan periang.
"Gue udah selesai, ini mau wawancara." Demi mendapati penjelasan itu, Kayca melotot.
"Lo udah selesai?!" Suaranya meninggi tanpa sengaja. "Jadi sia-sia dong perjuangan gue untuk membolos kali ini?" lanjutnya tak lupa bersungut.
Ia mulai berjalan dengan berjinjit sembari menundukkan badan ketika melewati lapangan sekolah. Dengan mata tetap waspada takut ketahuan.
"Gue nggak nyuruh lo bolos, Kay."
Kayca berdeham panjang. "Emang. Gue nggak ada nafsu sama pelajaran Pak Sungkono. Dia lebih sering curcol istrinya yang hamil gede daripada jelasin kimia. Makanya gue bahagia lo turnamen hari ini, biar gue bisa libur dulu."
Matanya menatap sekilas tiga laki-laki yang terkenal badung sedang dimarahi habis-habisan oleh Pak Wasis. Dihukum karena tidak ikut upacara. Suara Pak Wasis terdengar keras di telinganya. Di tangan kanan beliau ada gunting. Kayca menahan tawa. Mampus! Tiga anak itu sudah pasti harus segera merelakan rambut mereka yang tidak gondrong-gondrong amat untuk dicukur paksa oleh Pak Wasis.
Namun, karma memang selalu ada. Kepala Kayca terkantuk kursi tanpa sadar.
"Aduh!" pekiknya spontan.
"Kay?" Gadis di seberang telepon bertanya. "Kenapa lo?"
Dengan sekejap Kayca menyembunyikan kepalanya di belakang tempat duduk dari bata yang ada di pinggiran lapangan ketika Pak Wasis berbalik. "Git! Gawat!"
"Kenapa?"
Kayca mengintip sedikit dan melihat betapa garangnya wajah Pak Wasis saat ini. Lebih lagi alisnya yang menekuk tajam. "Kayaknya gue ketahuan. Kirimin gue al-fatihah, ya, biar gue bisa selamat. Gue telepon lagi nanti. Love you, Baby. Saranghae."
Kayca buru-buru menutup sambungan teleponnya. Ia menutup mulut dan hidungnya, menahan napas seakan hembusannya akan terdengar di telinga Pak Wasis.
"Siapa itu?"
Dengan segera Kayca meneguk ludah kasar. Ia pelan-pelan merangkak menuju pintu kamar mandi, sementara Pak Wasis mulai berjalan ke arahnya dan terus menghunuskan tatapan tajam.
Sebentar lagi. Kayca menggigit bibir susah payah merangkak dengan rok pendeknya. Naas, ujung tasnya melilit di kaki sebuah kursi. "Holy Mother of Lee Min Ho!"
Gadis itu dengan susah payah menariknya. Berusaha keras agar tidak menimbulkan gesekan kaki kursi dengan lantai.
"Siapa di situ?" Pak Wasis kembali bersuara. Kayca panik tidak terkira.
Beruntung ketika Pak Wasis sampai di sana, Kay sudah masuk ke dalam kamar mandi. Napasnya memburu dengan keringat yang mengalir di kerah kemejanya.
Setelah memastikan semuanya aman, Kayca segera berlari menuju pintu gerbang. Ia sudah hafal bahwa di pukul sembilan tepat, satpam penjaga sedang sarapan di kantin.
Dan betul saja. Ia dengan santai keluar melewati gerbang sekolah. Lantas menjulurkan tangan ke depan memanggil angkutan umum yang hendak lewat.
"Good bye, sekolah yang tiap hari bikin gue frustasi!" teriaknya dengan bangga.
✧Dito Gara Ibrahim✧
"Anj*r!" Tepukan di jidat Dito adalah tanda bahwa anak itu merasa frustasi.
"Ya udahlah, pasrah aja." Kalau Adam yang berkepala super dingin sudah berkata demikian, itu tandanya keadaan sebentar lagi akan kiamat kubro. Dunianya bisa dipastikan akan segera hancur.
"Mampus gue! Besok lusa kakak gue wisuda, masa rambut gue jadi jelek?" Dito kembali menimpali.
Garut—bukan nama asli—yang sedari tadi berjaga di balik pintu kamar mandi menoleh cemas. "Sh*t, sh*t, sh*t! Sh****t!"
Dito segera menatap pintu. "Pak Wasis dateng anj*r!" Ia menutupnya rapat-rapat. Matanya kini berpindah kepada Adam.
"Dam, lo 'kan yang paling pinter di antara kita-kita, lo nggak ide sama sekali?" Suara Garut terdengar mendesak.
Garut dan Dito sangat berharap jawabannya adalah 'iya', meski sebuah gelengan kepala lemas itu tanda bahwa ya-udahlah-pasrah-aja adalah jalan terakhir yang mereka bertiga punya.
Menurut perhitungan Dito, Pak Wasis akan datang dalam hitungan ke lima.
Satu. Ia menoleh ke Garut dan Adam sembari menghembuskan napas pasrah.
Dua. Garut mengulurkan kedua telapak tangannya. "Mari bergandengan, Sobat."