✧ Inggit ✧
Inggit menilik jam di pergelangan lengan. Masih ada setengah jam sebelum bel masuk kelas. Ia bisa segera menemui wali kelasnya terlebih dahulu untuk mundur dari seleksi perlombaan karya tulis kemarin, yang namanya didaftarkan paksa oleh Kayca.
"Eeeeh, lihat tuh Gis, siapa yang datang. Tuan Putri Inggit!"
Tak perlu menoleh untuk tahu siapa yang mengatakan hal itu. Dari nada suara yang menaruh benci dan penuh iri, sudah pasti itu suara Giska, teman sekelasnya yang tak pernah jadi teman.
Benar saja. Giska dan Devi menghalangi jalan Inggit.
"Gayanya beuh, habis nongol di tv jadi belagak, ya, Dep. Lihat teman sekelas kayak bukan dianggap manusia lagi, tapi budak Jepang, romusha,” timpal Giska untuk kedua kali.
Inggit mendesah menatap keduanya. Tuhan, bukannya ini terlalu pagi untuk menguji kesabaran gue?
Gadis itu memilih berlalu, menepikan tubuhnya lantas kembali berjalan dengan tenang meski kini Giska dan Devi mengikutinya dari belakang.
"Enak ya, habis menang lomba. Dapet duit, panen pujian, bisa sombong diwawancarai Najwa Shihab.” Kini giliran Devi yang mengeluarkan pendapatnya—yang sejatinya lebih baik dipendam, setidaknya begitu pemikiran Inggit.
Inggit masih dalam posisi awal; diam.
"Ish, kok dicuekin sih?!"
Kesal karena Inggit tak merespon, Giska melemparnya dengan botol minum. Inggit sontak mengaduh pelan. Tangannya memegang belakang kepalanya. Kali ini, ia menoleh dan menatap tajam Maia Estianty dan Mulan Jameela versi kw itu.
"Bagus deh, akhirnya noleh juga. Di depan kamera aja tebar senyum, obral muka ramah, giliran di sini udah kayak balok es. Dingin, nggak peduli sama siapa-siapa, sok berkuasa!" cerca Giska.
Inggit mengepalkan tangan. Kakinya melangkah maju. Beberapa anak yang lewat memperhatikan interaksi keduanya.
"Lo berdua punya masalah apa ke gue?" Mata Inggit telah sepenuhnya berubah. Yang tadinya dingin, sekarang menyala api dari sepasang manik hitam itu.
"Kalian buang waktu buat ngurus kehidupan gue sadar, nggak? Pengangguran, ya?"
Caca membusungkan dada. "Yha!"
Tak mau kalah, Inggit maju selangkah. "Gue tanya, apa salah gue ke kalian?"
"Lo tahu apa salah lo? Banyak! Yang pertama lo belagu mentang-mentang terkenal. Yang kedua—"
"Kalau lo cuma mau curhat tentang kedengkian lo ke gue, mending nggak usah dijelasin," potong Inggit, "gue nggak peduli. Setiap kata yang keluar dari bibir kalian, bagi gue itu rentetan sampah."
"Wooooh." Kini tak pelak lagi pasang mata mulai dengan berani mengambil pandang ke arah mereka bertiga. Perdebatan yang meski tiap hari bisa disaksikan, tapi sayang untuk dilewatkan.
Devi menatap sekitar. Ia menatap Inggit marah. "Merasa di atas angin, 'kan karena lo udah bikin orang-orang lihatin lo?"
"Lo sengaja cari masalah sama kita, sok-sokan berani, biar bisa caper sama semua orang, 'kan?" tambah Giska.
"Jawab!" teriak Devi persis di depan wajahnya.
Inggit menghembuskan napas singkat. Ia meregangkan jemari tangannya sehingga menimbulkan bunyi. "Gue yakin kalian tahu gue menang lomba apa kemarin, jadi nggak perlu gue dikte lagi di telinga kalian masing-masing."
Matanya memicing tajam seperti elang yang sedang bernegosiasi dengan dua angsa. Inggit menarik leher Giska agar wajahnya bisa ia lihat lebih jelas. Giska menahan napas seketika. Entah kenapa terlalu sulit rasanya melepaskan diri dari cengkeraman Inggit.
Inggit puas melihat bintik takut di mata musuhnya itu. "Sebelum leher kalian gue patahin, ada baiknya kalian diam. Lo tahu 'kan, tangan gue ini bisa dengan gampang bikin kalian nangis di rumah sakit?"
Inggit melepaskan cengkeramannya dari leher Giska sampai gadis itu terhuyung ke belakang. Beruntung Devi sigap menangkapnya.
Wajah Giska dan Devi pias karena ancaman itu. Inggit tersenyum miring. "Jaga diri kalian. Jangan lupa buat jaga jarak sama gue. Gue jijik sama sampah," ujarnya sembari menyemprotkan antiseptik ke tangannya yang digunakan memegang leher Giska.
Gadis yang baru saja berbicara itu berjalan meninggalkan dua temannya yang kini saling tatap, gemetar, dan sedikit takut. Puas sekali "bermain" dengan para angsa.