✧ Dito ✧
Dito bingung, sebab mendadak gadis itu berjalan ke arahnya. Terlihat datar seperti biasa dengan pembawaan santai. Tidak seperti anak-anak lain yang akan berpikir dua kali untuk mengganggunya ketika sedang berkelahi.
"Nggak usah ikut-ikut. Minggir!" perintahnya kemudian.
"Gue ada urusan ke ruang guru dan pengin lewat lapangan. Kenapa bukan lo aja yang minggir?" balasnya melempar tanya.
Dito melirik ke belakang. Ada Kayca, gadis yang namanya tak asing sebab jabatannya sebagai bendahara OSIS yang sering meminta uang sumbangan ke kelas mereka.
"Jalan ada banyak, kenapa lewat lapangan? Lo emang nggak bisa lihat gue lagi ngapain? Gue lagi berantem," ketus Dito.
"Ring tinju juga ada banyak, kenapa adu jotos di sekolah?"
Dito menahan napas sebab emosinya mulai mendidih. Garut yang di belakang saling bertatapan dengan Adam. Gimana nih? Demikian mimik wajahnya berbicara.
"Tunggu aja. Kalau udah emosi banget baru kita ke sana." Dan dijawab Adam dengan suara pelan. Garut hanya mengangguk setuju.
Dito maju selangkah. Inggit tetap berlagak tenang. "Ini bukan urusan lo."
"Soal kenapa lo milih lapangan sekolah sebagai tempat ajang kekuatan emang bukan. Tapi menyangkut kemanusiaan lo yang mulai terkikis terhadap makhluk hidup, gue gatel pengin ikut campur. Dan karena ini juga ditonton banyak orang kayak demo kenaikan gaji, harusnya lo tahu kalau dia–" tunjuk Inggit kepada Xavel yang lemas. "–udah nggak patut lo pukulin lagi. Cari lawan yang sepadan, Bodoh."
"Yha!" Kali ini Dito sudah tidak bisa menahannya. Garut dan Adam segera maju untuk meredakan emosi Dito.
Kayca menggigit bibir. Dilema antara ikut berjalan ke sana atau tidak. Sebab dari yang ia simpulkan selama berteman dengan Inggit, gadis itu amat sangat jarang berbicara. Irit. Kalau sampai Inggit sudah bicara lebih dari lima kalimat, itu artinya keadaannya bisa dua kemungkinan; sedang menjelaskan sesuatu atau sedang marah. Dan untuk kasus yang satu ini, opsi kedua lebih tepat menggambarkan Inggit.
"Lo tahu siapa gue, 'kan?"
Inggit mengangguk. "Dito Gara Ibrahim, ada di badge nama lo."
"Dan Dito Gara Ibrahim yang lo sebut itu punya motto hidup, siapapun yang ngusik kehidupannya, bersiap aja, gue bantai."
Inggit menepuk tangan kecil sambil tersenyum. "Motto hidup lo jelek banget. Persis kayak orang gila yang isi otaknya kosong."
"Yhaa!" Dito sudah bersiap memukul, tapi urung oleh perkataan Adam.
"Dia cewek." Dua kata yang mampu membuat Dito susah payah menahan.
Adam ikut menambahi. "Tahan, Bro."
Namun, sepertinya Inggit memang berniat memancing. "Jadi kalau gue cewek lo nggak bakalan mukul gue?"
"Iya!" sengit Dito, "gue sangat menghormati perempuan. Gue nggak bakal mukul mereka," tambahnya.
Inggit tersenyum miring. "Karena gue sama sekali enggak menghormati lo, jadi biar gue yang mukul lo duluan."
Begitu selesai dengan ucapannya, Inggit memukul perut sebelah kanan Dito. Laki-laki itu meringis dan mengaduh.
"Heh, Inggit!" teriak Garut spontan.
Inggit berbalik menatap Xavel. "Lo masih mau dipukul apa pergi dari sini?"
Xavel balas menatap tanpa kedip. Sedetik kemudian ia berdiri sempoyongan. "T-thanks."
Namun, terlambat. Dua guru BK sudah datang. Kayca yang melapor sebab ia terlampau bingung harus bagaimana.
Dito kembali berdiri ketika Bu Wilis, guru BK meneriakkan namanya. Napasnya naik-turun menahan emosi. "Gue nggak bales mukul lo karena lo perempuan. Lo selamat!" titahnya pada Inggit.
"Bagus. Gue juga nggak selera berantem di tempat beginian," ujar Inggit pergi berlalu di hadapannya, menemui Kayca yang khawatir.
"Gue nggak papa. Ayo, ke ruang guru!" Inggit mengubah wajahnya seketika itu juga. Senyumnya jadi mengembang ketika bersama Kayca. Padahal beberapa menit yang lalu, Kayca menatapnya sebagai singa kelaparan yang hendak menerkam tiga gajah.
✧ Inggit dan Kayca ✧
Sudah sepatutnya Dito, Adam, dan Garut menyimpan amarahnya kepada Inggit. Sebab kalau bukan karena gadis itu, mereka bertiga tak akan berakhir di dalam ruang BK. Orang tua mereka hadir tak lama setelah Bu Wilis menelepon. Memberitahu bahwa ketiganya membuat salah seorang murid hampir mati.
Sedang wali Xavel mengecam akan melaporkan ke polisi. Xavel sendiri terbaring di UKS, diobati oleh dokter puskesmas terdekat.
Baik Inggit maupun Kayca bisa mendengar suara-suara bising dari ruang BK. Debit perdebatan ini dan itu yang bercampur padu dengan emosi.
"Nama kita nggak bakal kena seret, 'kan?" Kayca menatap Inggit takut. Ia memilin dasinya sebagai penyalur kekhawatirannya. "Gue takut kalau sampai Bunda juga dipanggil. Lo tahu amukannya Bunda kayak apa."