Tiga jam sebelum perkelahian.
✧ Dito ✧
Dalam benak laki-laki itu, ia tak pernah menyangka perkelahiannya akan berbuntut panjang. Dimulai dari pagi hari ketika Adam, yang selalu berangkat lebih awal darinya itu sedikit terlambat. Benar-benar hal yang aneh.
"Adik gue digodain sama Xavel waktu pulang les." Begitu kira-kira ucapan Adam dengan penuh redaman amarah. Dito bisa melihat kilatan emosi itu menyala di wajahnya. Ia menyangka karena hal ini Adam terlambat.
"Adik lo si Eva?" Garut bertanya.
"Adik gue cuma satu, Bego. Ya kalau bukan Eva siapa lagi?" Lantas dijawab dengan tanya retorik.
"Ya santai, gue cuma nanya," ngelesnya.
Dito meminta Garut untuk diam. Biarkan Adam bercerita lebih dulu.
"Dia ditampar waktu bilang kalau dia jijik sama Xavel. Gue ngerasa waktu itu Xavel lagi mabuk. Cuma tetap aja, mau mabuk atau enggak, harusnya dia nggak begitu."
"Sialan!" Mulut Garut tak bisa diajak berkompromi. "Anj*ng banget mukul perempuan! Itu ... dia baru pertama kali ketemu adik lo?"
Adam menggeleng tidak tahu. "Adik gue bilang dia beberapa kali lihat di les. Waktu gue tanya, dia nggak tahu pasti Xavel mabuk atau enggak, tapi katanya, Xavel kelihatan waras. Gue nggak tahu Eva diganggu kayak gimana, digodain apa aja, dia masih trauma, nggak mau cerita. Dia sampai nggak mau sekolah, takut katanya."
Dito mengernyitkan dahi. "Terus lo mau gimana?"
Sontak Adam menoleh ke arahnya. "Gue minta tolong sama lo. Lo tahu maksud gue, 'kan?"
Tak perlu dijelaskan lebih rinci, Dito segera mengangguk. "Oke."
Dan perkelahian itu dimulai. Xavel sempat mengelak. Ia juga sempat beberapa kali membalas layangan pukulan dari Dito. Ada suatu alasan kenapa bukan Adam yang membalaskan dendam adiknya. Selain ia tak mahir berkelahi, jantung bengkaknya tidak memperbolehkan ia untuk beraktivitas berat. Adam mungkin kelihatan sebagai anak bandel dengan kata-kata yang selalu menusuk lawan bicara, tapi manusia juga punya kelemahan. Sakit yang ia derita, contoh kecilnya.
Dari semua murid di sekolahnya, hanya Inggit yang dengan santai memukul Dito, melerai perkelahiannya. Dito marah sebab gadis itu tak tahu sebab muasalnya, tapi tiba-tiba saja ikut campur. Padahal dari desas-desus yang lewat, Inggit gadis antisosial yang bahkan jarang berkomunikasi dengan teman sekelasnya sendiri.
Keheranannya tidak habis sampai di situ saja. Ia mengernyit bingung kala gadis itu memintanya bergabung dengan tim lomba. Like what the f-bintang-bintang-k, apa yang diharapkan Inggit dari bocah tukang tidur dan ahli mengumpulkan nilai di bawah KKM itu?
✧ Inggit ✧
Pagi setelah aksi memegang leher (yang diasumsikan orang-orang sebagai mencekik) Giska, Inggit melenggang pergi ke ruang guru, menemui Bu Desi.
Begitu Bu Desi duduk di hadapannya, Inggit segera mempersiapkan diri untuk mundur dari lomba. "Saya mau—"
"Tunggu dulu, Inggit," potong Bu Desi. Inggit hanya mengangguk, menurut.
Tak seperti hari-hari biasanya, Bu Desi terlihat lelah dengan wajah muram. "Ibu lagi ngurusin buat perlombaan KTR, kayaknya kurang orang, Git. Jadi pusing kepala Ibu." Inggit mendengarkan dengan baik.
"Oh iya, kamu tadi mau bilang apa?"
Tanpa ba-bi-bu, Inggit menyampaikan niatnya. Bu Desi tambah lesu. "Tolong dipikirkan lagi, Git."
"Saya sudah memikirkan itu, Bu. Sebulan ini aja, saya udah diikutin dua lomba, sama ada turnamen-turnamen kecil." Inggit tersenyum sopan. "Saya pengin fokus sekolah untuk sekarang."
"Ibu ngerti," jawabnya, "masalahnya Inggit, tahun lalu sekolah kita menang lomba ini, 'kan malu kalau tahun ini kita sampai nggak ngirim tim lomba."
Sampai di sini, Inggit sudah paham ke mana arah maksud dari ucapan Bu Desi. Demi dada bidang aktor Korea, Inggit tidak peduli. Tidak bisakah sekolah yang mempedulikan ia?
Inggit akhirnya memutuskan kembali ke kelas. Kembali (pura-pura) memikirkan ulang tentang lomba karya ilmiah remaja itu.
Ketika berjalan, sayup-sayup ia mendengar perbincangan tiga anak laki-laki di parkiran yang ada di samping ruang guru. Ketiganya nampak serius. Kelihatan mengernyit dahi, melipat bibir, dan kadang kala berbisik seperti hendak merencanakan sesuatu.
"Lo tenang aja, Dam, Xavel bakal habis sama gue istirahat nanti."
Inggit menoleh kepada mereka. Ia bukan tipe anak yang gemar mengikuti urusan orang lain. Hidupnya saja sudah keruh, untuk apa pusing-pusing memikirkan yang lain, bukan? Namun, tiba-tiba saja, ide gila terlintas di dalam benaknya. Tiga orang. Tiga orang sudah cukup membuat ia bisa maju lomba.
Itulah asal mula kenapa Inggit bisa dengan tegas meminta tolong—ralat, maksudnya adalah memaksa Dito dan dua pengikutnya untuk bergabung. Toh, ketika ia bertanya kepada Kayca, gadis periang itu nampak serius untuk ikut lomba.
"Ini bukan pekerjaan berat," katanya, "apalagi buat kalian yang selalu dapat rangking bawah."