Barangkali kau butuh sebuah tragedi yang mengharu-biru. Disinilah tempatnya. Tempat dimana para timun emas dillahirkan. Lalu setelah dewasa mereka diserahkan kepada raksasa yang akan menyantap tubuh mereka.
Dongeng itu benar adanya, bedanya tak ada perjanjian orangtua dengan raksasa. Orangtua hanya meyakini jika kelak anaknya dewasa, ada raksasa yang membawa anaknya, membawa kepada kebahagiaan para orangtua dari kemiskinan yang selama ini merundung mereka.
Aku adalah salah satu dari sekian timun emas yang malang. Aku bukan wanita jalang, tetapi aku hanya manusia ilalang yang butuh jembatan penghalang antara diriku dengan sang raksasa. Rumahku tak jauh dari tempat si raksasa. Aku hanya menuruni bukit tempat rumahku berada, dan beberapa meter ladang jagung hingga melewati kerumunan rumah penduduk. Disana, di tepian jalan itu, bukan hanya satu, banyak raksasa yang memburu kami. Kami berteriak bukan menunjukkan ketakutan, tetapi kesiapan kami untuk menjadi hidangan. Jika mereka tersenyum pada kami lalu membukakan pintu mobilnya, kami pun menjadi yang terpilih dan menyerahkan tubuh kami pada mereka.
Disaat itu, kami hanya mengingat-ingat bagaimana caranya berbakti kepada orangtua. Apakah para orangtua kami tidak tahu bagaimana caranya mencari uang? Sebenarnya kampungku ini cukup subur, semua warga bercocok tanam dengan ladang yang mereka garap. Padi, mentimun, jagung, dan tanaman palawija lain. Bahkan, setelah panen padi, mereka menggarap lahan untuk ditanami palawija. Tetapi para orangtua begitu serakah, hasil panen mereka tak cukup untuk mengenyangkan tubuh mereka. Lihat saja pada mereka bertangan kasar sementara perut mereka besar-besar. Aku tidak mempedulikan soal hasil panen.
Aku senang walau hanya makan dengan bubur jagung yang ibu buatkan, asalkan kami sekeluarga dapat makan untuk seharian. Aku tidak mengharapkan apa-apa, seperti mereka yang ingin pergi ke kota melalui berkenalan dengan raksasa. Aku bahkan terlalu betah di ladang jagung, tempat orangtuaku bercocok tanam. Dari pagi sampai sore, mereka menggebu-gebukan tubuh mereka, seraya berkata sambil menatap kearahku
“Keringat ini untuk anakku!" Begitu, ketika aku kecil, aku mengingat kata-kata itu sampai akhirnya aku mengerti bahwa mereka mengharapkan sebuah pembalasan dariku. Pembalasan yang sama bentuknya dengan para orangtua di kampung kami.
Sekarang, setelah aku cukup menarik untuk dipandang para lelaki, ayah dan ibu berusaha menarik perhatianku untuk menyanggupi perkataan mereka.
“Kamu lihat pak Tohir tetangga kita? Sekarang rumahnya seperti istana. Pagarnya dari besi dan pekarangnya ditembok." Ayah bercerita dengan matanya yang menyala-nyala.
“Kamu ingin rumah kita dipagari dan ditembok, biar tak ada tikus masuk ke rumah, biar jagung kita tak habis digerogoti?” Ayah makin menyalang, seperti seorang sales yang menuntutku untuk menerima penawarannya. Sementara aku berusaha menyolangnya.
“Kata guru biologi, tikus harus dibasmi dengan pestisida."
“Tapi kata guru biologi juga, pestisida itu meracuni tanah, nanti kita tak bisa lagi tanam jagung."
“Lalu kita harus apa pak?" Aku bertanya seolah menantang Ayah untuk berbuat sesuatu.
“Kamu harus mulai berdiri di tepi jalan raya!"
Pertanyaan itu benar-benar membuatku tertantang. Ayah tidak berbuat sesuatu, akulah yang berbuat sesuatu. Sesuatu yang kuherankan saat itu, Apa hubungannya berdiri di tepi jalan dengan membuat pagar dan tembok rumah.
Aku benar-benar penasaran, aku pun mulai melangkah dengan gopoh-gopoh menuju jalan yang ditunjukkan ayah dan ibu. Rumah kami paling ujung dari bukit di kampung ini. Kalau aku harus sekolah, aku menumpang di mobil pick-up Mang Maman yang biasa membawa jagung-jagung hasil panen ayahku.
Tapi petang itu, semua kendaraan yang akan menjadi tumpanganku sudah tak menderu, hanya terdiam di depan pekarang rumah pemiliknya masing-masing. Aku memberanikan diri melangkah sendiri melewati sepinya kampung.
Sesampai di sana, aku masih keheranan, karena susana masih terlihat sepi, hanya beberapa kendaraan yang melalu Lalang. Barulah ketika beberapa orang wanita dengan bajunya yang ketat berdiri sambil menyetop kendaraan yang lewat. Rupanya wanita itu hanya menyetop kendaraan pribadi saja, ia begitu terusik dengan sebuah truk yang berhenti di depannya. Ia malah menggeserkan tubuhnya untuk menghindari truk itu. Lalu supir truk itu meludah ke arahnya. Beberapa wanita pun terlihat marah pada supir truk itu, bahkan salah satu dari mereka melemparkan highheel-nya ketika truk itu mulai pergi, tetapi dia buru-buru mengambil sepatu itu lagi.
“Gak suka supir truk, paling bayarannya pecahan cebanan, udah gitu mainnya kasar!"
“Maklum lah ya pake otot. Tapi segala sesuatu gak musti pake otot. Cinta itu butuh kelembutan!" Mereka tertegun, tiba-tiba salah saeorang diantaranya tertawa terbahak-bahak. Lalu semuanya pun mengikuti gelakannya.