TIMUN EMAS, TERASI, DAN RAKSASA

zae_suk
Chapter #3

BAB II : LELAKI GILA

Mungkin kau sering mendengar, sejak kecil kau ditanya oleh tetanggamu, “Kalau besar mau jadi apa?” Lalu ibumu menimpal perkataan mereka dengan “Mau jadi dokter.” Itu hanya tetanggamu saja yang bertanya, dan itu hanya ibumu saja yang menjawab begitu. Tetangga kami sudah tau anak-anak kecil disini mau jadi apa. Mereka hanya menyarankan kami sejak kecil “Rawat tubuhmu baik-baik supaya nanti kau akan bermanfaat bagi keluargamu.”

Sungguh aku ingin menjadi anak yang bermanfaat bagi orangtuaku. Tapi, adakah cara lain untuk menjadi bermanfaat? Aku rasa tidak ada untuk kampungku ini. Entah bagaimana mulanya, kebiasaan di kampungnku sudah menjadi adat untuk menyerahkan anak gadis mereka pada raksasa. Aku selalu berdoa kepada Tuhan bahwa imbalan yang setiap kali mereka dapatkan dari raksasa, adalah caraku untuk berbuat baik, dengan menyenangkan orangtua. 

Tuhan sudah menganugerahkan kepadaku wajah yang cantik rupa. Kulit yang putih bak telur susu. Perawakanku yang tinggi semampai diwariskan oleh ayahku,sementara bibirku yang merah dan mataku yang besar diwarisi dari ibuku. Semua orang menganggapku sempurna. Aku selalu disanjung-sanjung oleh para tetanggaku, jika aku tidak mesti berteriak dan melambai tangan di tepian jalan. Bahkan kalau ketika para raksasa tau rumahku, mereka lah yang mencari-cariku untuk disantapnya. 

Tetapi nuraniku berkata aku tak ingin menjadi santapan kebinalan para raksasa. Nurani ini punya harga yang tak bisa ditakar oleh para raksasa. maka aku mulai berontak ketika ayahku memaksaku untuk yang kesekian kalinya aku berdiri di tepian jalan.

“Aku belum bisa melayani mereka, yah .. ”

“Kamu mau jadi apa kalau hanya duduk di rumah dan berladang jagung.”

“Berladang jagung lebih membuatku menjadi apa, daripada berdiri di tepi jalan tidak menjadikanku apa-apa.”

Kali ini Ayah menamparku dengan tangannya yang keras, tangan yang sering ia gunakan untuk menggarap ladang dan memegang tugal. Aku tercenung, begitu menohok tamparan ayah sampai ke ulu hatiku. Sementara ibu mulai mengusap-usap pundakku yang mulai menggeletar.

“Sudah aku bilang pak, Rosa belum siap, dia masih sekolah.”

“Kalau begitu besok dia keluar saja!”

Lihat selengkapnya