TIMUN EMAS, TERASI, DAN RAKSASA

zae_suk
Chapter #6

BAB V : Cinta Di Masa Lalu

"Ca ... Oca ... O ... Campernik!" begitu panggilan manisnya kepadaku. Ia selalu memanggilku dengan sebutan Campernik1. Paling sesuai dengan penampilanku waktu itu.

Panggilan itu terngiang-ngiang sampai sekarang, apalagi saat melihat foto seorang lelaki kecil yang sedang memegang Timun suri di perkebunan. Matanya begitu meneduhkan. Senyumannya menggetarkan, setiap hati yang menyaksikan wajahnya yang berpancaran. Dia memang lebih memancar daripada wajah-wajah anak lelaki lain di kampungku. Entahlah dengan anak lelaki lain, aku melihat mereka sama. Kadang begitu memuakkan, jika mereka begitu tergelak-gelak dengan kawanannya, entah apa yang dibahasnya. Lalu menyenyumiku saat aku melewati kerumunan mereka. Aku ingin pergi saja lekas-lekas. Dan memandangi dia yang masih memancar, untuk menerangkan hatiku yang baru saja gelap oleh gelak-gelak itu.

"Oca ... !"

Dia pertama memanggilku dengan sebutan begitu.

Cahayanya masih memendar tersimpan di lubuk hati ini. Semua tentang rupanya saat masih dua belas tahunan akan kukenang.

Lantas bagaimana kabarnya sekarang? Bagaimana janjinya membawaku menjadi penumpangnya di pesawat terbang yang dia kemudikan. Apakah dia masih ingat dengan janjinya?

"Aa ... mau bawa kamu ke eropa. Pake jet. Ini jet nya!" dia menunjukkan pesawat jet yang dibuat dari kertas. Lalu dia meniup kertas itu sebelum ia terbangkan. Pyusssss! Pesawat jet kertas itu terbang dari lereng menuju hutan, mengikuti angin. Aku melihat pesawat itu dengan kagum karena tak berhenti jatuh, terus dioyak angin.

"A ... Aku teh hoyong2 ka Perancis. Enak lihat pemandangan bunga tulip."

"Itu Belanda!"

"Oh muhun3 Belanda. A ... Kapan atuh ... Hoyong jeung4 Aa ..."

"Ke, urang teangan heula pesawatna. Urang arek jadi pilot heula ambeh bisa kamana-mana. Rek dibawa jaman-mana ge bisa. Ka Belanda, Perancis, Persib, Amerika, Arema ... bisa!5"

Nama negara yang ingin kulihat sebagai hamparan tulip itu rupanya menginspirasinya untuk tinggal disana. Kudengar dia tinggal dibelanda menjadi seorang pilot untuk penerbangan internasional Belanda. Semoga yang kudengar itu benar. Agar dia bisa membawaku ke sana, jauh dari sini. Di sini hanya kuning jagung yang kutemui. Sepanjang hari sepanjang pagi, sampai mataku bergeming. Ketika yang dilihat adalah kesamaan, kesamaan membuat semua organ tubuhku menjadi diam. Tidak mau kurespon kepada bagian-bagian yang sama. Sia-sia saja!

Bosan, memang bosan aku berada dalam terali yang melilitku ini, kuharap bukan si Raksasa yang membuka lilitanku, bukan juga Ridwan! Tetapi tak bosan aku menunggunya. Lelaki pengemudi pesawat terbang itu akan kuperkenalkan pada raksasa dan si Ridwan. Biar mereka tahu, bahwa aku diam begini, mempunyai ksatria, bahwa aku tak bisa diraba-raba begitu saja, aku punya ksatria!

Dia memang ksatria, selain kemahirannya sebagai pilot. Bagai si jampang, dia selalu menyungaang ketika aku hendak dijahili teman-teman lelaki.

Ciatttt!! Ciattt!!

"Maraneh tong ngadekeutan ie awewe. Itu awewe nu urang.6"

Dengan lantangnya dia bilang begitu kepada teman-temannya. Saat itu aku benar-benar melongo. Bukan wajah-wajah temannya yang membiru dan pasrah dipukul-pukulnya. Tetapi kepercayadiriannya menganggap aku awewe-nya.

Kami masih piyik, baju kami merah putih saat kami duduk mengamati guru kami. Terlalu dini mulutnya menjadi mulut suami. Terlalu dini juga rasa ini bersemayam, terus sampai dibuainya. Sampai kini aku masih dibuai angan-angan untuk bertemu dengannya.

Dari mulut yang serba percaya diri itu, akhirnya tersebar luas jika aku akan menjadi isterinya kelak. Semua tergelak-gelak. Orang-orang hanya menganggapnya mahluk picisan. Sampai terdengar ke telinga ayahku, aku terdiam. Ayah juga tertawa-tawa. Ibu menimpalinya.

"Rosa! Kamu teh gak usah temenan sama incu tengkulak eta! Manehna sok ngaramet kebon batur. Loba meureun embe anu dijadikeun Pikadedeuhna. Ari kamu hoyong jadi embe na?7"

Lagi-lagi ayah dan ibu tertawa-tawa. Aku tidak mengerti waktu itu, aku pikir mereka akan marah lalu memukul-mukul lelaki yang berani menganggapku isteri saat lelaki itu saja belum mampu mengeluarkan air mani.

Baru kutahu sekarang, orangtuaku hanya meledeknya. Tidak mungkin si tukang ramet itu memilikiku, karena aku sudah dipesan raksasa dari kecil.

Lihat selengkapnya