Angin dari puncak gunung selalu membawa kabar hangat tentang bebatuan dingin sebelum meminta diri untuk kembali. Di sana tersimpan paras. Paras yang tak bisa diraba. Mata yang tak bisa dipandang maniknya. Bayangannya pun ibarat ceritera yang tidak pernah selesai. Yang konon pergi sebelum manik mata saya bisa dipandang. Yang melahirkan tanpa sempat memberi saya nama.
Saat rindu melanda, di mana pun saya berada, angin datang laksana pelipat jarak yang wijaya1. Seperti cangkang kerang yang disimpan dalam kobia2, padahal orang gunung tak pernah menyelam ke dasar laut, lalu menjadikannya elal3. Berkat elal, garam dan ikan laut seakan mendaki ke punggung gunung yang terjal.
Sesudah meminta diri untuk kembali, angin selalu menyertakan rasa rindu di dada ke tempat arwah kewe ninang4 bersemayam. Puncak gunung. Ningok5.
Stadion Utama Gelora Senayan, 19 April 1998
Di hadapan saya terbentang lapangan rumput yang luas. Di atas kepala, matahari selurus gelagah. Orang-orang dari kejauhan menonton lapangan yang nyaris lengang. Angin terus berembus, masih membawa rasa yang sama. Berdesir-desir. Saya pun begitu.
Lapangan rumput ini berbeda dengan lapangan terbuka tempat berkumpulnya para woemum6 dari dua kubu yang menuntaskan woem jagawin7. Di sana mereka melancarkan selang wem8 ke arah lawan. Mereka saling serang seperti ular memagut, pantang menunggu lawan. Suara-suara menggema di langit, kaki-kaki menderu. Saat mereka terus bergerak, angin yang berputar-putar lahir.
Orang-orang yang masih bisa menyaksikan perang akan bersiaga. Menjauhi lapangan, menjauhi rasa gembira. Apalagi bertepuk tangan.
Selama perang berlangsung, tiap-tiap ibu menyembunyikan anaknya di dalam ninggobong9. Semua yang ringkih seperti ditelan bumi. Sedangkan para imbul10 akan menandai si pemberani di baris terdepan sebagai calon pasangan hidupnya. Semua orang harus menghormati pilihan sang imbul.
Saya tidak ingin mengingat semua itu ketika angin bertiup di lapangan rumput seperti saat ini. Sebelum semua jadi berantakan, sebelum angin-angin menggoda, saya harus melakukan sesuatu. Balik badan bila mungkin. Membuang pandangan ke sembarang arah setidaknya. Paling kurang memejamkan mata.
Tapi perasaan tak bisa dikecoh. Di belakang kepala saya seperti ada mata11 yang tak terlihat, tapi bisa merasa. Angin-angin seakan ingin memperputarkan saya. Saya harus bertindak. Menjauh dari mereka.
Sekarang mereka menerbangkan bau musim kemarau yang datang lebih cepat. Aroma rumput lapuk mulai tercium, ketika saya bergabung dengan atlet dari penjuru negeri. Pertandingan tertunda, entah sampai kapan.
Kami masih menunggu suara-suara menyebut nama dan deretan angka sebagai tanda giliran melembing. Sedangkan saya menunggu suara-suara terbawa angin saat menyebut: Malam Bulan Purnama yang Terlihat dari Punggung Gunung. Delob. Nama saya.
*
Saya merasa nyaman setiap ada kesempatan bergabung dengan atlet putri dari 27 provinsi. Kami merasa hidup senasib. Kekuatan tangan dan punggung akan mengharumkan tanah leluhur masing-masing. Kami meriung, bercerita tentang apa saja.
Tapi itu tak lama. Saya baru menyadari ada seorang yang tampak seperti kewe ninang ndaw12. Orang itu jalan menuju tempat kami meriung. Saya tak tahu harus berbuat apa, selain melihat cara berjalannya yang mengentak-entak lantai.
Para pelembing dari penjuru negeri lantas berdiri, berbaris. Saya masih duduk di lantai stadion, dipagari kaki-kaki sunyi. Setelah itu saya hanya bisa melihat kakinya.
Orang itu terus berjalan dengan mengentakkan kaki, seperti ingin dilihat kehadirannya. Mirip entakkan pertama saat selang wem, pikir saya. Setelah orang itu menjauh, saya baru bisa melihatnya dengan sedikit jelas.
Dia tidak sendiri. Beberapa orang mengikuti dari arah belakang.
Dia seibarat mangaye13 yang melejit ke langit sebagai kabar buruk setelah sengketa dua belah pihak tidak menemui kesepakatan, yang kemudian diikuti puluhan ampulat14 rentang waktu yang tidak bisa dipastikan. Mangaye berbeda dengan ampulat. Seperti juga dia bukan mereka.