Jika seluruh jari dari salah satu tangan diluruskan, lalu dirapatkan, maka terwujud bentuk serupa pegunungan. Sebentuk pegunungan itu terdiri dari lima puncak gunung.
Kewe ninang ndaw1 mengajari saya berhitung sejak kecil. Setiap dia bersuara, matanya memandang ke arah saya. Saat meminta suara, dia melurus-luruskan jemari saya. Saat saya mengenal angin, dia sering bicara sendiri, seperti minta didengar semua orang. Dia melarang angin yang sering bermain sampai di bibir jurang. Dia memarahi angin yang sering lupa diri saat mengejar angin-angin sampai di lapangan terbuka, tempat berlangsungnya woem jagawin2.
Itu tabu, katanya. Anak kecil tak boleh ada di sana, katanya sambil berjongkok lalu menangkap saya. Apalagi sambil mengeret-geret kowang3, lagi-lagi katanya, sambil memeluk saya.
Dalam dekapannya saya tertawa geli. Saat mulai betah di atas pangkuannya, dia membungkus tangan saya dengan telapak tangannya, dan menghitung- hitung gunung di jemari kami. Setiap jari ibarat gunung.
Dia yang membesarkan saya. Dia ibu dari yang melahirkan saya. Darinya saya tahu, anak- anak yang dibesarkan di gunung lebih dulu belajar mengucapkan nama-nama jari ketimbang benda lain. Di jari ini ada kewe ninang, katanya menekan dogondi4 di tangan saya. Katanya lagi, di dua telapak tangan saya terdapat dua pegunungan yang terbentuk dari sepuluh puncak gunung. Bersama-sama kami meluruskan kedua tangan, lalu diangkat ke atas kepala, seperti orang yang sedang meminta-minta ampun pada langit.
“Dua puluh gunung orang kita punya,” katanya pada saya kala itu.
“Banyak, Ndaw.”
“Kita orang kaya raya sudah,” katanya setiap mengucap itu dengan rasa bangga.
Pelajaran berhitung dimulai dari gunung Dogondi. Dia pendek dan tembam. Tapi jangan rundung dia. Hati-hati. Dia menyimpan jurang yang dalam.
Gunung nomor dua adalah Ndipesen5, sebagai lambang kehormatan. Jari ini memberi pengaruh bagi orang lain.
Waktu saya kecil, kewe ninang ndaw ndaw6 selalu bilang: “Berpikir-pikirlah sebelum menggunakannya. Tunjuklah mana yang pantas diberi arah. Arahkan jari ke tempat yang dicari bagi kaum petandang. Mereka membutuhkan telunjuk untuk menjejak elama7, sebelum matahari kelewat tanak.”
Dia pun menjamin, yang bertandang pasti membawa kabar untuk tempat yang dituju. Jika persediaan makanan lebih, mereka pantas dibekali talas bakar. Petandang selalu memberi salam bukan pembawa bala. Jangan sampai mereka tersesat saat melingkari hutan di punggung gunung yang masih perawan.
Bagi saya jari telunjuk juga diibaratkan sebagai undakan sebelum menempuh gunung tertinggi. Gunung Buikpetsen8. Puncak dari segala puncak.
Pukul dua siang
Juri penjaga garis telah menyatakan lemparan pertama saya tidak sah. Saya tak bisa berbuat apa-apa.
Saat ini saya tengah menunggu kesempatan kedua, ibarat undakan sebelum meraih puncak tertinggi. Berat pasti.
Gunung Jari Telunjuk adalah gunung kemuliaan, maka akan saya gunakan sebaik-baiknya tanjakan kedua ini sebagai penunjuk arah. Arah yang bertaraf. Arah yang sesuai dengan keinginan saya.
Saya tidak mau mengulangi kesalahan pada lemparan pertama: Kaki kanan menyentuh garis pembatas pada sektor lempar.
Sebenarnya, larangan itu tak asing bagi semua atlet. Saya pun meyakini garis batas pada sektor lempar itu garis tabu. Tak boleh tersentuh barang seujung kaki pun.
Saat di Jayapura, saya tertib berlatih. Setiap latihan melempar tak pernah kena tegur Ai Maniro.
Saat unjuk kebolehan di Pelatda, dua bulan lalu, semua berjalan mulus. Kaki saya bertumpu di bawah garis setor lempar. Ujung kaki tidak menentang garis tabu. Pinggul tidak menyerong. Setelah melembing tangan tidak menyiku. Semua gerakan telak. Tiga lemparan menancap di sektor pendaratan. Ketiganya sah. Kala itu saya menanjak di puncak tertinggi.
Tapi sebelum itu, saya pernah gagal melembing.
Setiap mengalami kegagalan saat melembing seperti sekarang ini, saya selalu membutuhkan orang yang memiliki sifat seperti gelar Mewang9 dan Kalokwang10.
Dalam woem jagawin11, bisa dipastikan, pemilik-pemilik gelar itu berlimpah senyuman, dan mudah kasihan saat menemui woemun12 yang mengalami luka-luka. Orang-orang setingkat itu akan menjadi peneguh hati bagi yang babak belur tanpa meninggalkan tanda tanya, terutama saat Mewang mencarikan orang yang bergelar Kalokwang – yang diberkati bakat menyembuhkan luka dan lara.
Seperti juga pertandingan, perang melahirkan pihak yang kalah.
Bahkan dalam keadaan dua belah pihak seimbang, bahkan pula bagi pihak yang menang, perang tak akan pernah luput dari derita, merugi, koyak-koyak, kehilangan, bahkan binasa.
Mewang dan Kalokwang pantas dijadikan saudara yang patut dipertahankan, terutama bagi yang napasnya mulai lemah. Pemilik-pemilik gelar itu akan melantunkan syair-syair kudus yang menentramkan, serta nasihat yang membetahkan.
Segaris angin memberi kabar baik. Ai Marino menghampiri saya tanpa butuh apa-apa. Sekarang kami duduk bermuka-muka.
Saya memohon restunya untuk lemparan kedua. Dia membuka suara saat saya mengakhiri ucapan tadi. Kata Ai Maniro: “Kita percayakan kakimu, Delob.”
*
Saya berharap kali ini dorongan di tangan lebih kuat dari embusan angin-angin. Saya ingin perbaiki lemparan kedua.
Masih ada sisa waktu 60 detik. Tenang. Saya berbisik dalam hati: Sewat o namola sewat. Duhai angin-anginku sayang.
Mereka berembus lagi. Tangan saya harus lebih kuat dari mereka. Saya yang harus menyusul mereka: Amole Amolango Namola ai ai ai!
Saya berlari, berjingkat, menarik tombak lunak, menahan napas, menahan punggung, membuang napas.
“Dis!” suara dari juri penjaga garis.
Garis serupa bentuk gunung tertinggi yang pernah saya lihat akhirnya terukir di langit.
Dua jam kemudian
Tiga atlet putri peraih skor tertinggi itu berdiri di depan panggung kecil berundak-undak, yang membentuk serupa pegunungan dengan tiga puncak: gunung Emas, gunung Perak, dan gunung Perunggu. Undakan di bagian tengah ibarat puncak gunung tertinggi. Siapa pun penjejaknya menjadi wakil bagi yang telah melampaui pertarungan terhebat dalam hidup.
Mereka tengah bersiap-siap melaksanakan upacara penyematan medali. Peraih medali perunggu mendaki gunung terkecil. Bergiliran mereka mendaki undakan. Lampu stadion menyala. Mereka diberi selamat. Dibanduli medali. Dikalungi bunga anggrek dan melati. Dibubuhi buku Tabanas di tangannya. Ditepuk-tepuk bahunya. Dinyanyikan lagu kebangsaan. Jauru,13 senangnya. Wajah mereka begitu semarak.