Tinta Darah

Sylvia Damayanti
Chapter #1

Kepergian Ami

Pagi ini rasanya berat sekali meninggalkan Ami sendirian di rumah, tapi bagaimana lagi aku harus pergi untuk menguruskan surat-surat beasiswaku ke Mexico nanti. Pasalnya adikku itu adalah seorang tunarungu dan tunawicara, meskipun umurnya sudah terbilang dewasa, tapi aku masih belum bisa membiarkannya keluar rumah tanpa pengawasan dariku ataupun Mbak Rere, pengasuhnya. 

Hari ini Mbak Rere meminta izin untuk tidak datang membantuku mengurus Ami, katanya anaknya demam tinggi. Mau tidak mau aku harus meninggalkannya sendiri. Meminta tolong kepada kedua orang tuaku pun percuma, pada akhirnya mereka akan bilang “mama sama papa kan sibuk, lagian Ami kan sudah menjadi tanggung jawabmu sekarang dan kamu sudah menyanggupi itu kan,” ya begitulah mereka selalu berdalih pekerjaan adalah tugas utama. 

"Ami, tungguin aku ya, aku cuma pergi bentar kok, hari ini Mbak Rere nggak dateng jadi aku yang siapin kamu sarapan, kamu makan ya !” Ucapku sebelum pergi ke kampus, tentu saja memakai Bahasa isyarat. 

Ami yang saat itu sedang duduk di pinggiran kasur dengan memakai baju tidur berwarna abu kesukaannya. Hanya tersenyum mengangguk. 

“Oh iya, kamu jangan lupa mandi, jangan keluar rumah sebelum aku pulang, dan jangan lupa..” belum juga aku selesai berbicara Ami memegang kedua tanganku yang otomatis memberhentikan pembicaraanku. Dia kemudian memelukku dengan erat. Tak lama setelah itu, ia melepaskan pelukannya lalu..

“Adikmu ini sudah besar Rumi, aku bisa mengurus diriku sendiri percayalah itu. Hari ini juga aku mau jalan-jalan, aku janji akan jaga diri baik-baik.”

Tentu saja aku kaget karena ini kali pertamanya membantah omonganku, biasanya dia hanya mengangguk nurut. 

"Ada apa denganmu Ami? ini kali pertama kamu membantah omonganku, tidak biasanya. Pokoknya aku nggak izinin kamu keluar rumah tanpa aku atau Mbak Rere ingat itu!” 

Dia hanya mengangguk sembari menyuruhku pergi, takut terlambat katanya. Mau tidak mau aku bergegas untuk pergi ke kampus, dengan hati yang masih saja belum bisa tenang. 

Setelah kurang lebih lima jam aku di kampus, alhamdulillah semua urusan beasiswa ku sudah selesai tinggal menunggu waktu keberangkatanku. Sudah kusiapkan semuanya termasuk tempat tinggalku nanti Bersama Ami. Tentu saja aku akan membawa dia dan juga Mbak Rere, karena aku tahu jadwalku akan sangat sibuk disana. 

Pikiranku masih saja melayang pada Ami yang tengah sendiri dirumah. Mengingatnya yang berkata ingin pergi jalan-jalan keluar rumah, hanya membuatku terus berpikiran buruk. Semoga saja dia tidak nekat pergi. Karena kalau saja dia pergi aku tak tahu siapa yang dia temui dan apa yang akan diperbuat orang itu terhadap Ami. 

Dengan cepat aku segera memesan ojek online di aplikasi HP ku, tak sampai 5 menit pesanan ojekku sudah datang. 

Diperjalanan aku mencoba menghubungi Ami lewat video call, tapi tak ada jawaban. Biasanya Ami selalu mengangkat panggilanku tepat waktu. Kalaupun dia melewatkannya, dia selalu menelepon balik, tapi kali ini dia tak kunjung meneleponku hingga aku sampai di rumah. 

Aku benar-benar kaget, baru saja aku sampai gerbang ayah dan ibu sudah datang menghampiriku dengan kemarahan yang sangat terlihat jelas di wajah mereka.

Lihat selengkapnya