Tinta Darah

Sylvia Damayanti
Chapter #2

Kepergianku.

Internasional Benito Juárez

Satu tahun berlalu, bahkan setelah aku menunda kepergianku Ami masih saja belum bisa kutemukan. Ada rasa kecewa yang membuatku mengambil keputusan untuk pergi meski Ami belum bisa ditemukan. 

Kata-kata ibu yang membuatku semakin yakin untuk pergi, meski tanpa mereka tahu. 

“Mungkin benar apa yang dibilang orang-orang bahwa kelahiranmu yang membuat kesialan terus menghampiri hidup kami, usaha kami yang sedang melonjak naik tiba-tiba saja bangkrut tak tersisa. Adikmu yang mengalami cacat beberapa menit setelah kamu lahir,” Ya, aku dan Ami memang kembar identik.

 “...dan terakhir, Ami hilang karena kamu! Mungkin lebih baik jika kamu tidak pernah ada disini.” 

Kata-kata itu terus saja terngiang dikepalaku, hatiku merasakan sakit tak berujung. Mungkin itu alasan ibu selama ini tidak pernah berusaha untuk dekat denganku. 

Maafkan aku Ami. Karena lebih memilih pergi dan tidak mencarimu. 

“Kenapa kamu menangis?” Seorang wanita yang sepertinya seumuran dengan ibuku sedang duduk di sampingku tiba-tiba membuyarkan lamunanku. 

Aku hanya menjawab dengan senyuman lalu menggeleng dan menghapus air mataku. 

“Mau kemana? Liburan?” Tanya dia, lagi.

“Kuliah,” Jawabku singkat, sekilas aku melihatnya terperanjat

“Tinta de sangre?

Sekarang giliranku yang kaget, bagaimana dia bisa tahu kampusku? Atau mungkin… 

“Ibu yang jemput saya?” 

Dia memang tidak menjawab, hanya tersenyum ke arahku lalu memalingkan wajahnya kearah lain. Ini aneh, rasanya dia yang sangat antusias bertanya padaku, tapi sikapnya berubah begitu saja setelah aku bertanya soal kampus itu padanya. Baiklah lebih baik aku diam, dan tidak bertanya lebih lanjut padanya.

Lalu tanpa berpamitan, dia pergi meninggalkanku dengan banyak sekali pertanyaan yang memenuhi pikiranku.

Saat ini pesawatku baru saja landing di Mexico city, sepertinya seseorang yang ditugaskan untuk menjemputku belum tiba. Lebih baik aku tunggu saja di kursi tunggu.  

“Arumi, Indonesia?” Seorang laki-laki berwajah asia berdiri tegap di hadapanku, dengan sigap aku berdiri dan menyambut uluran tangan laki-laki yang sepertinya berasal dari negara yang sama denganku. 

“como fue tu viaje? (bagaimana perjalanmu?).” Ternyata dugaanku salah, sepertinya dia memang penduduk asli disini, terlihat dari cara berbicara dia, sangat fasih.

“Hola.” Dia kembali menyapaku kala aku tak kunjung menjawab pertanyaannya. 

“Ya, oh sorry but I only speak English (ya, oh maaf aku hanya berbicara bahasa inggris).” Ucapku. Sepertinya dia paham, karena setelahnya tak da lagi percakapan antara kami hingga tiba di tujuan kami, Tinta de sangre university.

“Kukira kamu sudah fasih berbahasa spanyol.” Aku benar-benar tak percaya bahwa dia bisa berbahasa Indonesia. Aku hanya mematung duduk di dalam mobil, ntahlah rasanya senang sekali bertemu seseorang yang bisa berbahasa Indonesia bahkan dengan pelapalan yang sangat baik. 

“Kamu mau tetap disitu?” Sepertinya dia mulai kesal menungguku yang tak kunjung keluar. Semua barang bawaanku termasuk koper sudah berada di kedua tangannya.

 “Kamu bisa keluar mobil sendiri kan? Tanganku cuma dua, itu pun sudah penuh dengan semua barangmu. Jadi aku nggak bisa bukain pintu untukmu.” Aku tersenyum, lalu keluar dan mengambil alih sebagian barang bawaanku.

 “Kenapa nggak dari tadi aja si?” Tanyaku padanya yang masih sibuk membenarkan barang bawaanku. Dia melirikku dengan wajah penuh tanya.

“Apanya?” 

Lihat selengkapnya