Tinta Darah

Sylvia Damayanti
Chapter #4

Darah pertama adalah darahku sendiri.

“Ternyata diam-diam kamu juga suka ya sama aku” Ucap Daniel yang langsung membantuku untuk berdiri

“Pede banget kamu!” Ketika Daniel mengulurkan tangannya untuk membantuku, langsung saja kutepis dengan sedikit kasar.

“Nggak usah.” Tolakku judes. Setelah berdiri dengan sempurna aku segera membersihkan pakaianku yang sedikit kotor. 

“Terus kenapa kamu jatuh dan lagipula wajahmu juga terlihat sama pucatnya dengan dia.”

 “Memangnya ekpresi seperti tadi itu artinya harus selalu suka sama kamu, iya?” Kataku sedikit mengambil jeda. 

“Ayo Ana.” Ajakku mengajak Ana untuk pergi. Baru saja beberapa langkah tiba-tiba Daniel memanggil kami, tapi kali ini bukan aku yang ia panggil melainkan Ana. 

“Analise.” Suara nya benar-benar lembut sekali sangat berbeda ketika dia berbicara denganku tadi. Tentu saja Analise menoleh dengan cepat bagai tersambar petir, ia segera menghampiri Daniel. 

“Kamu benar mau pergi sekarang? Kan masih ada beberapa pengumuman yang belum kamu tahu, dan dia juga.” Melirikku sekilas dengan wajah judesnya. Lalu tersenyum kembali pada Ana.

“Udah! kita kan bisa tanya yang lainnya nanti, ayo kita pergi Ana!” Aku masih berusaha untuk membujuk Ana agar mau ikut denganku dan tak menghiraukan ajakan Daniel.

 “Yasudah, kalau kamu nggak mau ikut Mr Daniel, biar aku saja yang ikut dia.” Seru Ana yang lebih memilih Daniel sungguh sangat membuatku kesal.

 “Oh yasudah!” Aku pergi dengan rasa kesal yang teramat besar kepada Ana, tanpa pamit aku pergi menuju asramaku dan seperti biasa, aku akan lebih memilih untuk tidur ketika suasana hatiku sedang buruk. 


Pukul 10.15 malam 

Rasanya aku baru tertidur sebentar, tapi ternyata jam sudah menunjukkan hampir tengah malam. Semua orang terlihat sangat sibuk, ntahlah mempersiapkan apa. Yang pasti mereka semua membawa benda yang sama di tangan mereka.

  “Rumi, ayo!!!” Ajak Ana yang sepertinya dia mulai melupakan kejadian pertengkaran kami tadi sore. Aku hanya memandannya dengan sinis lalu memalingkan pandanganku ke arah lain

“Ya ampun kamu masih marah?” tanya dia sembari melangkah mendekat ke arahku. Sungguh kali ini aku sangat geram padanya.

“Jelas lah!” Aku bukan seorang pendendam, tapi kali ini aku benar-benar kesal pada Ana.

 "Yasudah iya aku ngaku salah karena lebih memilih Mr.Daniel daripada kamu, tapi kan dia dosen yang seharusnya kita patuhi Rumi, kamu ngertiin ya," Ana memohon dengan menggenggam erat kedua tanganku. 

Lihat selengkapnya