Hari-hariku terasa penuh tanda tanya. Seolah-olah ada suara yang terus berbisik di sudut pikiranku—raungan halus yang tak kunjung diam. Di balik layar ponsel, notifikasi berdatangan tanpa henti. Setiap bunyi yang muncul bukan sekadar pesan biasa, melainkan pengingat akan sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang sulit kupahami.
Aku menatap layar yang berkedip, berharap ada jawaban yang terselip di antara kata-kata. Namun, di sana hanya ada ruang kosong yang membesar, membentuk celah di hatiku. Setiap notifikasi membawa pertanyaan baru—apakah aku benar-benar mencintai kenyataan yang kini hadir di hadapanku, atau justru merindukan ketenangan yang perlahan memudar menuju ketiadaan?
Perasaan itu membingungkan. Kadang aku merasa hidup kembali, seperti ada percikan harapan yang mengalir dalam nadi. Namun, di saat lain, ketenangan yang dulu menghangatkanku perlahan-lahan menghilang, memudar seperti senja yang tenggelam di cakrawala. Aku bertanya-tanya, apakah aku mencintai kenyataan ini karena benar-benar menginginkannya, ataukah aku hanya takut menghadapi kehampaan ketika semua ini berlalu?
Notifikasi di ponsel terus berbunyi, memecah keheningan di sekitarku. Namun, di balik semua suara itu, aku merasa ada sesuatu yang hilang. Ketenangan yang dulu menemaniku terasa menjauh, meninggalkan ruang kosong yang tak mampu kuisi. Setiap pesan, setiap tanda, hanyalah pengingat bahwa ada bagian dari diriku yang masih mencari jawaban—jawaban yang mungkin tak akan pernah datang.
Aku terus menunggu, berharap ada sesuatu yang mengisi kekosongan ini. Tapi semakin lama aku menanti, semakin aku sadar bahwa tidak semua pertanyaan memiliki jawaban. Dan mungkin, di balik semua notifikasi yang datang dan pergi, ada sesuatu yang jauh lebih sunyi—diriku sendiri, yang masih mencoba memahami apakah aku benar-benar mencintai kenyataan ini, atau hanya terjebak dalam ketidakpastian yang tak kunjung reda.