17. Rhino. Darian. Aku menulis nama lengkap lelaki yang baru aku cabut statusnya dari pacarku jadi mantanku lima menit yang lalu dengan huruf kapital di salah satu halaman buku ku. Selanjutnya aku perhatikan dengan seksama rentetan huruf-huruf yang membentuk nama lelaki yang oh-tentu-saja-beruntung pernah jadi pacarku.
Aku menarik nafas panjang seraya tersenyum penuh kepuasan dan penuh kemenangan. Aku merasa terlahir kembali. It feels like I was born to win this battlefield. Ya.. aku memenangkan pertempuran ini untuk kesekian kalinya. Seperti memang aku selalu ditakdirakan untuk tetap mengagkat daguku tinggi-tinggi. Sungguh menyenangkan melihat diriku sedang ada diatas ring tinju dengan satu tangan diangkat keatas oleh sang wasit pertanda aku lah pemenangnya. Semua orang di arena tinju mengelu-elukan namaku diiringi tepuk tangan dan siulan yang meriah.
ALL HAIL TO ME
ALL HAIL TO TIRA
Aroma kemenangan menyeruak diudara. Samar tapi kentara.
Dan apa kabar dengan tandinganku?
Rhino?
Sayangnya dia terkapar diatas lantai, meringis kesakitan sambil memegangi hatinya yang terluka karena tinjuanku yang tepat pada sasaran.
Ah… Sungguh menyenangkan membayangkan semua ini. Memang selalu menyenangkan membayangkan diri kita lebih superior dari orang lain.
Rhino Darian. Rhi-No Da-ri-an.
Aku mengejanya pelan-pelan, membacanya sekali lagi dan kemudian memelapisi tulisannya dengan stabilo berwarna pink. Ini memang sudah jadi habit-ku. Setiap aku putus. Pasti aku langsung menulis namanya di buku khusus yang aku buat khusus untuk mantan-mantanku tersayang.
Buku ini hasil kreasi aku sendiri loh!
Aku mengunakan beberapa puluh lembar HVS berukuran A4 untuk isinya, dan sampulnya aku buat dari karton, kertas daur ulang, kertas origami, kertas concorde dan beberapa jenis kertas lain serta pernah-pernik untuk kerajinan tangan. Hasilnya? Hmmm… Cukup memuaskan.
Ok! mungkin aku terdengar cukup sedikit narsis, tapi kemampuan aku dalam hal ini bisa dipertangungjawabkan kok. Buktinya, nilai KTK (Kerajinan tangan dan kesenian) ku waktu SD selalu diatas angka 8. Oya, aku juga membuat sebuah logo di depannya. Setelah bertapa, bersemedi, dan tak lupa shalat istikharah. Aku tahu gambar apa yang cocok untuk sampul depan buku ini.
Ya. Tepat sekali sekali pemirsa!!
TEMPAT SAMPAH!.
Luar biasa. Genius!
Coba mana tepuk tangannya?
Gambar tempat sampah adalah ide yang genius untuk logo buku ini. Buku ini sebenarnya lebih mirip dengan scrap book yang memuat semua hal yang pernah aku lalui dengan mantan-mantanku, berikut segala hal tentang mereka. Aku nggak tau dapet ide dari mana. Tapi, yang jelas buku ini ada sejak aku SMP kelas 2. Tepatnya setelah aku berhasil membalaskan dendam kesumat ku pada mantan yang pernah memutuskan hubungan kami dengan cara yang tidak terhormat.
Sungguh! Kamu harus tahu bagaimana rasanya seseorang yang pertama kali jatuh cinta dan dikecewakan. Jujur ya, itu pengalaman pahit aku tentang cinta dan aku pun tak punya sama sekali pengalaman yang menyenangkan tentang cinta di kala itu.
Kamu tau-lah ya bagaimana rasanya pertama kali jadi anak SMP. Jaman-jamannya early adolescence. Masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. When one is too old to be a child, but too young to be an adult. Masa-masanya serba nangung. Nanggung yang bikin bingung. Sempet bingung karena udah nggak masuk ukuran baju anak-anak tapi, belum pantes juga pake baju orang dewasa. Itu mungkin kenapa kalangan fashion menyediakan semacam pra-bra yang kalau nggak salah sih dulu namanya miniset.
Bukan cuma dari masalah nanggung dalam hal fashion tapi juga dari segi emosional. Karena remaja umumnya memiliki emosi yang setengah matang ibaratnya sih kayak lagi naik roller coaster. Di satu sisi mengalami ketegangan emosional dan fisiologis, tetapi juga di sisi yang lain merasakan excitement yang luar biasa saat mengalami perubahan yang sangat cepat dari satu kondisi ke kondisi lain. Contohnya kayak waktu pertama kali dapat jatah menstruasi. Waktu pertama kali keluar darah dari daerah kewanitaanku, aku merasakan ketegangan,kecemasan,dan ketakutan. Oya, bahkan aku sempat berdoa memohon agar tak ada hal buruk yang terjadi padaku. Karena aku pikir saat itu daerah kewanitaanku berdarah karena terdapat luka atau semacamnya.
Kalaupun beberapa saat kemudian aku menyadari that was my first period, selanjutnya malah sempet euphoria untuk membeli hampir semua merk pembalut dan rasanya ingin mencoba semuanya. Begitupun rasanya dengan jatuh cinta sampai ke tahap dating pertama.
Di satu sisi takut banget sama yang namanya pacaran. Takut kenapa? Takut karena belum pernah mengalaminya dan wondering bagaimana cara melakukannya. See? Naïf banget kan pikiran aku jaman SMP. Dipikir pacaran itu upacara yang ada tata cara khusus dalam pelaksanaannya. Hahahaha. Tapi, di sisi lain sangat excited karena hal ini membuat banjir adrenalin.
Nah, sejak aku merasa legal sebagai remaja untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis. (Hanya merasa legal loh) Belum benar-benar mendapatkan SIM-C (Surat Ijin Menjalin Cinta) dari keluarga. Perasaan legal aku itu muncul karena melihat teman-teman diusiaku dulu banyak yang pacaran. Bukankah sesuatu yang sudah banyak dilakukan orang itu, sudah menjadi sesuatu yang dilegalkan? :p
Aku mulai mencoba apa yang disebut pacaran. Kebetulan pacar pertamaku waktu itu adalah kakak kelasku. Setahun diatasku. Namanya Rangga. Aku cukup tergila-gila padanya. Tapi, bukan berarti aku yang mendekati dia duluan loh. Suerrrr! Dia yang pertama titip-titip salam ke aku lewat temen-temenku. Sebenarnya dia nggak ganteng-ganteng amat sih lumayan jauh dari rangganya cinta di AADC. Tapi ya gak jelek-jelek amat juga. Yah bisa dapet 7-lah dari 10. So so sih, tapi yang terpenting adalah dia itu termasuk salah satu tim basket inti disekolahku. Jaman aku smp dulu kan cuma anak-anak basket yang jadi bintang sekolah. Dan kayaknya cuma basket ekstra kulikuler yang paling keren, seolah mengintimidasi ekskul-ekskul yang lain.
Aku sama dia pacarannya sih nggak pernah kemana-mana cuma ngobrol aja di sekolah, jalan-jalan muter-muter sekolah sambil pegangan tangan. Lagian kita juga baru seminggu jadian waktu itu. Tapi kalaupun cuma kayak gitu rasanya kayak dunia cuma milik kita berdua dan sisanya orang lain ngekost,nyewa,atau cuma numpang singgah kayak air hujan yang bertamasya jauh-jauh ke bumi dari langit.
Aku belum berani sampe jalan keluar sih. Misalnya nonton atau jalan-jalan ditaman gitu kayak pacarannya orang-orang korea atau jepang. Soalnya, dulu waktu aku masih tinggal di rumah tante Mira, tante Mira cukup strict menjaga aku. Kalau aku pulang telat, pasti tante mira langsung menginvestigasi aku pulangnya. Terus kalau aku bilang mau pergi-pergi pasti ditanya sama siapa dan tante mira harus kenal sama orangnya.
Kalau nggak aku nggak boleh pergi. Pokoknya semuanya harus jelas. Pergi sama siapa, kemana, naik apa, pulang jam berapa. Fiuh.. cape deh. Apalagi kalau dia tau aku punya pacar... haaak! Bisa abis aja aku nggak dikasih makan sebulan sampe kurus kering. Hehe.
Nggak deng! aku kadang suka berlebihan.. yah.. paling aku dikhotbahin panjang lebar tentang masa depan. Tapi, kayaknya puasa sebulan lebih baik deh daripada denger khutbahnya Tante Mira. Lapar kan masih bisa ditahan, tapi, kalau nahan diri dan bersabar buat kena polusi telinga sih itu namanya penyiksaan.
Aku yakin banget tante Mira pasti nolak mentah-mentah kalau aku pacaran, soalnya pengalamanku, kalau ada telepon ke rumah dari cowok pasti dibilanginnya aku nggak adalah, atau tidurlah, dan bla.. bla.. bla.. alasan yang lainnya. Ini nih resiko tinggal sama perawan tua. Nggak pernah ngerasain cinta.
Once upon a time nih, Sang Pacar ngajakin aku nonton di bioskop abis pulang sekolah. Kebetulan kalau hari jum’at, sekolah kita cuma sampe jam 11. Nah, abis dia jum’atan baru deh kita pergi nonton. Itupun aku sudah mulai nakal, berani bolos les bahasa inggris hanya demi pergi bareng dia.
Sesampainya di bioskop, Rangga langsung beli dua tiket film horror buat kita berdua, tanpa kompromi dulu dengan aku si partner nontonnya. Aku lupa deh apa judul filemnya. Yang jelas, aku kan nggak suka horor. Tapi ya dulu sih buat aku nggak penting nonton film apa. yang penting bareng dianya. Semacam love is blind.
Pernah liat nggak di film-film cartoon mata orang yang kena hipnotis? Itu kan bola matanya kayak bentuk obat nyamuk bakar gitu ya, nah kalau aku kayaknya waktu itu bola mata aku tuh bentuknya heart shape gitu. Full of love. Ih, najiss kan yah?
Selanjutnya, masuklah kita ke dalem studio, ternyata Rangga milih kursi paling atas dan paling pojok. Kebetulan juga studionya nggak penuh-penuh amat.cenderung kosong malah. Aku dipersilahkan duduk di bagian pojokannya (sial banget ga sih. Ini orang mau nyiksa aku?) belum juga aku duduk, dibayanganku sudah ada bayangan suster ngesot dengan tangan keluar dari kolong bangku penonton tepat dimana aku akan duduk. Ih… nyeremin deh. tapi itu semua nggak berefek terlalu panjang buat aku karena setelah nya aku merasa safety dan dunia kembali penuh heart shape.
Dari awal kita masuk studio, tangan aku dan dia tak pernah terlepas. Sampai pas entah baru seperempat film atau sudah di tengah–tengah. Aku tidak begitu ngeh dengan waktu. Sepertinya aku mengalami semacam disorientasi waktu. Tiba-tiba Rangga mengarahkan pandangannya ke arahku sambil menyuapi aku popcorn, kepalanya makin dekat dengan kepalaku. matanya terus tertuju kearah mataku, seperti tatapan elang yang akan mengakhiri rantai makanannya, aku mengalihakan pandanganku dari matanya, tapi dari ekor mataku aku dapat melihat matanya dia nggak lepas se-inchi pun dari mataku. Sueerr… aku ga bohong. mungkin peletku makin lama-makin canggih cara kerjanya kataku dalam hati. Hahaha. Lama kelamaan mukanya semakin mendekat dan kemudian, My GOD hidungnya hampir dekat sekali dengan hidungku. Tunggu-tunggu.. aku menarik nafas dalam-dalam. Aku tiba-tiba berpikir tentang sesuatu yang “sesuatu banget”
ini pasti dia mau….
Mau…
(ada sekelebat adegan reka ulang di film-film 17+ yang bermain kilat di otakku)
MENCIUMKU?
Tidak.. tidak… tidak.. TIDAK!!!
Masa sih?
Nggak mungkin ah
(aku berusaha membumihanguskan prasangka ku kepada Rangga )
Tapi tunggu…
Sepertinya benar dugaanku
Bibirnya dan bibirku kini berjarak hanya satu centimeter saja
TIDAAAAKKKKKK!!!
Begitu menyadarinya, aku langsung dengan cekatan mengambil minum yang aku simpan di sebelah kiriku dan mendekatkan sedotannya kearah bibirku dan mulai menyedotnya perlahan. Ini upaya yang aku lakukan agar dia tidak berhasil mengambil kevirginan bibirku. Kemudian aku menegakan posisi duduk dari yang tadinya menggelendot di dekat bahunya Rangga. Dia menjauhkan wajahnya buru-buru dari wajahku dan mulai kembali menonton.
Walaupun saat itu aku sedang ketiban lope dan sempat terinfeksi virus love is blind. Untung saja aku cukup sigap saat dia hampir melakukan itu padaku. Tidak.. itu tidak boleh sampai terjadi padaku. aku mau pacaran, tapi aku bukan cewek murahan.
Sejak hari itu dia seperti bersikap dingin kepadaku tidak seperti biasanya yang selalu menghampiri ketika jam istirahat atau sebelum pulang. Dan kalau papasan sama aku di kantin atau dimanapun. Anehnya dia nyuekin aku. Bahkan pura-pura nggak liat aku. Sedangkan aku? Aku dibuat kebingungan dengan sikapnya saat itu. aku berpikir mati-matian kenapa dia sampai bersikap seperti itu kepadaku mengingat seingat ingatanku aku tak pernah berbuat kesalahan atau berniat menyakiti dia. Keanehan ini berjalan selama satu minggu. Sedih banget rasanya saat itu. aku cenderung banyak menyalahkan diri sendiri dan sering kali aku menangis ketika memikirkan sikapnya yang berbeda. Tapi memang salahku pun, aku tak melakuakn apa-apa terhadap keadaan ini. Dan Cuma bisa diam. Mungkin karena dulu aku termasuk cewek yang pasif. Jauh dari asertif apalagi agresif.
Tingkah laku konkrit dari aku yang pasif, jelaslah aku nggak mau nyamperin dia duluan. Meskipun aku kangen. Aku nggak mau nyampeerin dia duluan. Sampai akhirnya seminggu lebih terhitung dari sejak sikapnya berubah kepadaku, dia mutusin aku lewat sms. Pada saat itu aku sakit hati sih. Bangeeeet. Sampe nangis-nangis segala di wc sekolah. Mendadak panas dingin karena nggak kuat menerima kenyataan yang ada.
Dan kamu tahu selanjutnya apa yang terjadi?
Hari itu juga, tepat waktunya pulang sekolah aku liat dia pulang bareng sambil pegangan tangan sama seniorku, salah satu anggota cheers.
What the….. arrrrrrghhh
Diam-diam aku memberikan salam jari tengah dibelakangnya.
Dan seperti kata pepatah. Bad news travels fast. Beberapa hari kemudian aku mendengar ada selentingan kalau dia putus sama aku karena aku nggak bisa apa-apa?
WHAT !!
Tunggu…
Apa yang dia maksud nggak bisa apa-apa? Sebentar.. Mungkin aku harus lebih memperjelas kata “ngak bisa apa-apa”. Maksud dia apa bilang aku nggak bisa apa-apa? Aku benar-benar nggak faham apa maksudnya, tapi selanjutnya tiba-tiba perasaan ku mengatakan ini semua tentang hari itu. tentang di bioskop itu. Aku mungkin terlalu polos pada saat itu. Cara berpikir otakku masih konvensional. Aku sama sekali tidak menyangka. Hanya karena hal kecil itu Rangga menyudahi hubungan ini. Ah ya! Pasti gara-gara itu. Aku geram. Tensi darahku naik sampai pada titik paling tinggi. Bergejolak. Meluap-luap. Aku marah. Aku kecewa. Aku kesal.. Rasa sedihku hilang dan tergantikan dengan rasa kesal dan benci yang luar biasa. Malamnya aku putuskan untuk membuat perhitungan dengan dia.
Goalnya cuma satu, membuat dia menyesal. Aku putuskan untuk mengikuti ekskul cheerleaders, untuk apa? Ini adalah step pertama dari serangkaian rencana jahatku. Anak cheers selain strata nya hampir sama dengan anak basket (ini pada jamanku loh. Lagi-lagi pada jamanku. Padahal akukan belum terlalu tua) anak cheers juga sering ikut kegiatan anak-anak basket. Syukurnya aku masuk audisi tim inti. Aku cuma mau buktiin that im hotter than his girl friend!
Kayaknya sih aku berhasil, karena banyak dari teman-teman basketnya yang mulai menitip salam padaku. Aku hampir beberapa kali PDKT dengan temannya, bahkan teman dekatnya. I know u’re not that strong enough baby. Amazingly, hanya dalam hitungan waktu yang tidak cukup lama, dia putus dari pacarnya dan minta aku balik lagi sama dia. Cenderung memohon malah. Aku terima donk, ini adalah klimaks dari prosesi balas dendamku. Setelah aku terima, seminggu kemudian aku putuskan dengan alasan aku takut disakiti lagi. Hahahaha. Jadi, aku terlihat tak punya salah apa-apa kan?
Nah, sejak itulah, I declare myself as men-eater, men-killer, or whatever u want to called me. dan sejak saat itu juga aku meluncurkan buku pertamaku. This super genius book.
Memang sih, kalau dipikir-pikir nggak ada kerjaan banget aku bikin kayak ginian segala. Buat apa aku cape-cape bikin. Aku bagus-bagusin. Toh buku ini juga nggak pernah ada yang liat. Alias dari saya oleh saya untuk saya. Mirip-mirip sama salah satu tagline koran lokal yang ada di Bandung.
Tapi ya, walaupun tak ada yang tahu. Buku ini cukup berarti sebagai tempat menyalurkan energi negatif yang selalu aku dapat dari mantan-mantanku. Ternyata gambar tong sampah yang aku jadikan sebagai logo buku ini, benar-benar merepresentasikan buku ini ;p
Tanpa kusadari Ines melongo ke arah halaman bukuku yang terbuka,”Yang ke berapa Tir?”
Ah, aku salah. Aku hampir lupa kalau ada satu orang yang selalu dapat free pass untuk masuk ke daerah teritoriku. Ines. Dia sahabatku sejak SMA, kita satu bangku, satu ektrakulikuler, satu selera makan, bahkan sekarang kita satu fakultas di Psikologi. Entahlah. Bisa dibilang ini suatu kebetulan yang memang sepertinya sudah terencana dengan rapi oleh Tuhan. Semacam serendipity.
Aku mengenal Ines waktu aku pertama masuk SMA, dan sama-sama kena razia tatib sewaktu ospek. Hari pertama ospek-ku tidak begitu menyenangkan. Sepertinya bisa ditebak. Karena belum apa-apa. Belum resmi jadi anak SMA karena pada saat ospek masih memakai seragam SMP sudah kena razia. Razia rok dan baju ketat.
Jadi waktu itu baju aku dan ines masuk dalam kategori Inul of the day. Ya itulah.. apa sih nominasi yang norak menurutku. Oya, apa kamu pernah dengar teori law of attraction? Yang mirip menarik yang mirip? Salah satu teori the secret dari Rhonda Byrne penulis terkenal itu?
Yah, kira-kira begitulah caranya aku bisa dekat dengan Ines sekarang. Kalaupun aku dan Ines banyak kesamaan. Aku sama dia tidak pernah satu pendapat kecuali yang aku bilang, pendapat tentang makanan. Kita satu selera makan.
Oya dalam kamus makan ku dan Ines hanya ada dua kategori makanan. Yang satu makanan enak dan makanan enak sekali. Dan satu hal lagi dari kami yang berbeda dan sangat mencolok yaitu Ines punya orang tua lengkap sedangkan aku tidak.
“Yang keberapa Tir?” Tanya Ines lagi sambil secara paksa ingin membuka halaman yang hampir aku tutup.
“Tujuh belas”, Aku mendelikkan mata kearah Ines dengan pandangan “please-baby-this-is-not your-business” dan menutup kasar halaman yang baru kutulis dan kemudian kembali menyimpannya di tempat paling aman menurutku. Kotak sepatu.
Ines geleng-geleng kepala sambil berdecak kagum yang sebenarnya terdengar seperti nada meledek”17? Ciee… seventinan donk... ada party nih kayak nya”
”ngarang banget sih baru putus ada party-nya...”
”eh, ini sih bukan ngerayain putusnya lo. Tapi, ngerayain rekor baru lo. Punya mantan ke-17. hehe...”
Aku memajukan beberapa centi bibir ku ke arah Ines.
“eh, btw.. kenapa sih lo putusin si Rhino? Padahal kan dia baek mampus bo...”
Ines menyipitkan matanya penuh selidik. Menurut Ines aku ini GILA! Aku gila mengambil keputusan untuk mengakhiri hubunganku secara sepihak dengan Rhino. Dia bilang Rhino nggak pantes diperlakuakan seperti mantan-mantan aku yang lainnya. Karena apa? Si ganteng high school babe jaman SMA-ku dulu ini ternyata sama sekali bukan seorang womanizer seperti yang aku dan ines pikirkan waktu kita SMA dulu.
Cuma belakangan ini setelah aku jadi ceweknya Rhino aku jadi tau kalo sebenernya cewek-ceweknya aja yang suka kegatelan dan move on duluan sama Rhino. Padahal si Rhinonya adem-adem aja gitu sama mereka. Emang sih aku berhasil jadian sama Rhino juga karena aku yang nyodor-nyodorin diri duluan ke dia. Tapi... eiiits! caraku nggak semurahan mereka donk. aku pake cara elegant. Jadi malah keliatannya Rhino yang ngejar-ngejar. Hahaha.
Penasaran kan gimana caranya? Mau tau? Eits jangan donk.. nanti ditiru lagi :P
Namanya bukan Tiandra Larasati kalo nggak bisa bkin cowok nempel-nempel terus kayak perangko. Satu hal dari ines, dia nggak pernah ngerti apapun dari pertama kali aku bilang aku punya niatan untuk mutusin Rhino. Sampe hari ini aku melakukannya dia nggak pernah ngerti. Jadi sebaiknya aku akan memberikan jawaban pelan-pelan, agar dapat dicerna dengan otaknya yang yah.. (sorry to say) setara dengan pentium.
”Ines sayang, I told you a thousand times before, kalo gue udah nggak cocok sama dia. Alias jadi bosen. Karena ternyata sekarang setelah gue tau dia bukan player. Gue jadi ngerasa nggak ada tantangannya lagi. Plis ines no more question!! Cape ngejawabnya” Aku membuang napas penuh sambil beranjak dari kasur menuju lemari pakaian.
”Aduh Tiandra Larasati... lo insyaf napa?”
Aku berkacak pinggang di depan kaca meja riasku. Melenggak-lenggokan badan bak model yang sedang berada di atas catwalk. Senyumku mengembang. Ada rasa bangga semenuhi setiap ruas aliran darahku.
”iya... ntar gue insyaf.. tapi, kalo spesies yang namanya cowok nggak ada lagi di dunia ini. Haha”, tawa ku menyeruak lebih terdengar seperti seorang Cruela Devil yang sedang membayangkan rencana jahatnya untuk menculik anjing anjing dalmation.
Ines menggeleng-gelengkan kepalanya, ”aduh ampun ni anak... eh, denger....”
aku menyetop omongan Ines dengan tangan ku. Lalu mengangkat telepon yang berdering.
”Iyaa... iya... tungggu ya.. aku mau turun nih” jawabku di ujung telepon.
Aku membuka handle pintu kamarku.
”Simpen dulu omongan lo ya cinta...gue mau cabs dulu...”, kataku sambil menjawil pipi Ines, menyambar tas, dan keluar dari kamar.
”Hehh... lo mau kemana lagi Tir?”, Ines setengah berteriak.
Aku mengerling dari jauh ”Pergi sama Adi....”
****
”Ok! Nanti aku jemput sayang... iya... janji kok aku nggak akan ngaret lagi. Ok.. sampe ketemu nanti ya... bye... miss u...” Gue menutup telepon dan memasukannya ke dalam saku celana. Gue mendesah dalam hati. Kesal. Ini telepon dari Amel yang ke lima dengan selang waktu hampir yah kira-kira dua puluh menit, karena tiap kali gue pindah alat fitness. Kayak barusan gue baru selesai treadmill dan mau ngangkat dumble, handphone gue langsung berdering dan konklusi dari telepon nya cuma ngingetin untuk jemput dia tepat jam tujuh di rumahnya. Jangan pikir gue pelupa. Ini bukan masalah lupa, dementia, alzheimer, atau bahkan amnesia.
Gue telat bukan karena lupa. Actually, telat nya gue itu masih manusiawi karena seperti kata pepatah we can plan pretty picnic but we can’t see the weather, yang artinya sah sah aja kalau pas kita merencanakan sesuatu dan sesuatu itu nggak berjalan mulus. Kan dalam segala sesuatu itu mungkin aja ada extraneous variable yang nggak bisa kita kontrol. Let say, kemacetan. Di kota Bandung yang semi metropolis ini kemacetan udah jadi issue sehari-hari. So, its OK to be late because of traffic jam. Ok semua statement barusan adalah pembelaan diri gue terhadap kebiasaan gue telat. Dan sekarang kebiasaan buruk harus perang versus pengorbanan demi cinta. Apa CINTA? Penasaran doank kali lo Xel. Bagian lain dari diri gue protes dengan statement gue barusan.
”Maya ya?”Revan bertanya sembari terus mengangkat dumble nya. Mungkin ini sudah hitungan ke lima puluh sekian. Revan emang selalu lebih kuat dari gue. Makanya otot di tangan nya dia lebih berbentuk sekarang ini.
”Bukan...”jawab gue singkat sambil mendekat ke arah Revan dan menaruh dumble yang tadi gue pake di tempatnya kembali.
”Terus siapa?”tanya Revan dengan air muka penuh tanya.
Gue mengelap keringat yang menetes ke dahi gue dengan handuk kecil yang melingkar di leher ”Yang tadi Amel”
”Hahh? Amel? Siapa lagi Amel xel? Cewek lo?”
”Bukan. Tukang cuci di rumah gue. Yaelah... iyalah cewek gue. Amel.. ade kelas kita pas SMA dulu. Lo inget nggak? Anak osis juga.”Gue berusaha menekankan pada kata anak osis untuk membuat Revan lebih gampang mengingat
”Masalahnya cewek lo hari ini sama besok kan belum tentu sama Xel... Emang yang mana sih orangnya? Gue udah rada-rada lupa nih. Yang kemarin lo kenalin waktu kita ketemuan di Blitz bukan?” Revan terlihat berusaha mengingat-ingat seperti apa wajah Amel ”Eh, bukan nya cewek lo yang ketemu di Blitz itu namanya maya kan bukan amel?”tambahnya lagi.
”Iya... Maya itu cewek gue dua hari yang lalu. Sekarang gue sama si Amel kan.”
”Jadi lo udah putus donk xel sama si Maya? Kenapa? Gue liat dia anak nya baik.”
”Iya... saking baek nya jadi ngebosenin orang nya. nggak ada tantangan lah sama dia.”
Revan memegang jidat gue dengan bagian belakang tangannya. Seperti gerakan orang yang mengecek temperatur badan seseorang ”orang gila lo xel. ”
****
”Hi.. Everyone, let me introduce my self. My name is Tiandra Larasati. You can call me Tira, Tiandra, or anything you want” Aku memperkenalkan diri di depan kelas. Tanganku sedikit bergetar karena grogi. Ini bukan karena aku berdiri di depan kelas, ini karena di ujung sana, tepat di kursi paling ujung di dekat pintu masuk kelas, terduduk seseorang lelaki berkulit sawo matang, hidung mancung, dengan kacamata bertengger diatasnya yang sedang memperhatikanku dari tempat duduknya. Baiklah. Memang nyatanya siapapun yang maju kedepanakan ia perhatikan. Aku berusaha menarik nafas panjang sebelum melanjutkan ”i study at Bandung University. Psychology”
”What’s your hobby Tiandra?”Tanya guru Native perempuanku ku sambil tersenyum ramah.
”Mmmm.... my hobby is reading, shopping.....mmmm..” Jawabku mengambang ragu-ragu
”Mmmm.... Flirting” Tambahku dalam hati
”Hmmmm... NICE!” Si Native berkomentar ”Any questions everyone?”Tanyanya pada anak-anak sekelas.
”Telephone... telephone...Status.. status....” Seru beberapa cowok yang belum aku kenal. Ribut meminta nomor telepon ku dengan nada bercanda dan tertawa-tawa. Kecuali si cool yang baru datang itu.
Aku cuma tersenyum kecil dan tak lupa memamerkan lesung pipiku yang fantastis ini”ask me personally...”kataku akhirnya sembari tak lupa menambahkan sedikit kerlingan yang menggoda.
”OK... Thanks Tiandra... have a sit”Si guru Native perempuan yang mukanya tak jauh dengan Sandra Bullock mempersilahkan aku duduk ”Ya,,, Next... Arian Putra Adiwidjaja”lanjutnya lagi, menyebut satu nama dari buku absen
Si ganteng yang duduk diujung itu angkat tangan dan maju ke depan. Dia membenarkan ujung kemejanya yang sedikit terlipat.
”Hi... goodnight everybody, i would like to present about myself. My name is Arian Putra Adiwidjaja. You can call me Ryan. Im 21 years old. I study at ITP, informatics engineering. Any questions?”Tanyanya sopan dengan sedikit membungkukan badan”No? Ok thanks for your attention”Dia mengakhiri perkataannya dengan senyumnya yang menawan
”Cool.singkat. padat. Jelas tapi memukau”aku mengagumi dalam hati. Tak ada yang bicara. Semua. Beberapa cewek yang ada di kelas sepertinya tersihir oleh kharismanya. Nggak ganteng gimana sih. Tapi berkharisma.
”Oke Arian. Stay here” Perintah Si bule ke Arian untuk tetap diam di tempat”Ok guys, we’re going to play a games. Here’s the rules: Firstly, pick one of your friends. A different gender. So Arian, pick one of your friend.”
Mata Arian berkeliling, menatap semua wajah anak-anak yang ada di kelas. Dia cukup lama berfikir.”Make it fast”Seru Si Native meminta Arian lebih cepat
Beberapa detik kemudian, setelah Si Native meminta Arian lebih cepat, telunjuk Arian menunjuk ke satu arah. Dan betapa aku baru sadar, telunjuknya mengarah kepadaku
Aku terhenyak melihatnya”ME?”
”Yes you!’ Arian mengangguk pasti.
Aku sedikit gugup. Dan langsung mematung di tempat. Well Arian, Are you gonna play with me? *more wink
*****
Gila. Gila. Gila. Hari ini Mel’s salon and spa penuh banget. Untung aku dan Ines udah jadi pelanggan setia di sini. Jadi kalau pun daftar antrian yang mau ke sini udah sepanjang tembok cina, nggak ngaruh buat aku sama Ines. Yah... itulah salah satu benefit yang konkrit berteman dengan pemilik Salon. Tante Mely nama pemilik salon dan spa ini. Sahabat mamanya Ines dari SMA. Okey lah.. aku mengakui memang ada sedikit unsur nepotisme untuk bisa menikmati pelayanan tanpa hambatan antrian.
”lagi penuh ya mbak?”tanyaku pada mbak Tati salah satu kapster di mels yang selalu melayani ku setiap kali aku kesana.
”iyaaa... mbak. Banyak tamu dari luar kota juga. Lagi pada liburan kali ya mbak?”cerita Mbak Tati dengan logat jawa yang kental pada setiap katanya.
”ohhh... gitu mbak.. aduh.. saya jadi nggak enak nih ngeduluin yang udah pada nunggu...”Kataku basa-basi.
”ya... nggak apa-apa kok mbak... lagian tadi mbak mel udah pesen sama saya, kalo mbak Tira kesini harus langsung dilayanin. Kan mbak Tira udah langganan di sini.”jelas mbak Tati sambil memberikan tonic pada rambutku yang masih basah.
Sambil merasakan tonic rambut itu meresap di kulit kepalaku, aku memerhatikan keadaan sekeliling. Sebenernya pemandangan salon yang crowded ini bukan fenomena yang langka buat aku, Apalagi di akhir pekan seperti ini. Banyak orang yang ingin memanjakan diri seperti di creambath, manicure-pedicure, sampai luluran. atau ada juga yang mau pergi ke undangan dan membutuhkan sedikit hair do yang outstanding atau bahkan ada orang seperti aku yang malas untuk keramas di rumah.
Entah bagaimana caranya tante mel menarik konsumen dari kalangan menengah ke atas untuk memadati salon dan spa nya sampai bisa menarik expatriat dari beberapa negara ke salon dan spa nya. Aku pikir buat para expat itu yang menarik dari salon tante mel ini konsepnya yang sangat nature dan berkiblat pada kebudayaan Indonesia. Dimulai dari dekorasi ruangan yang sangat artistik dengan mengambil tema bangunan-bangunan jawa, dekorasi furniture yang diadopsi dari kayu-kayu jepara di mix dengan pernak-pernik ruangan khas bali. Seperti lukisan penari bali yang ada di dekatku sekarang. Tante mel juga menselaraskan baju-baju kapster di salonnya dengan baju batik, dan selain itu juga produk-produk perawatan di salon tante mel 100 % traditional. Alami. How come?
Dulu konon katanya neneknya tante mel itu ahli dalam rempah-rempah di yogyakarta. Nah, terus tante mel punya beberapa ramuan resep kecantikan alami. Her beauty center is a work of genius. Kalau aku bilang nih, tante mel berhak dapet rekor muri buat salonnya karena telah ikut berpartisipasi melestarikan kebudayaan Indonesia. Another thing yang bikin salon ini spesial adalah harganya. Kalupun salon ini bertema dan berkesan eksklusif, tapi harganya jauh dari perkiraan. Harga salonnya bersahabat dengan kantong mahasiwa. Kata mama nya Inez sahabatnya tante Mel, Tante Mel nggak pake strategi bisnis yang sama kayak salon eksklusif lainnya. Tante Mel nggak mau sampai kayak Salon mahal yang sekali dapet untung emang banyak tapi sering sepi karena harga yang bikin jantungan. Buat tante Mel nggak masalah untung sedikit, yang penting pelanggan banyak. Daripada untung banyak tapi pelanggan sedikit. Sebenernya sama aja dapet-dapetnya. Soalnya, tante Mel itu berbisnis bukan semata-mata cari uang tapi lebih ke cari temen dan biar dia punya kesibukan. Soalnya, tanpa punya salon ini juga tante Mel kan udah bisa ongkang-ongkang kaki. Wong suaminya Direktur Rumah Sakit Umum Bandung. Tapi, satu hal yang disayangkan. Kenapa harus Mels salon dan spa namanya? Nggak match deh rasanya. Mungkin jawabannya cuma satu. Tante Mel terlalu narsis.
Dari kaca yang ada di hadapan ku. Aku melihat bayangan Tante Mel si pemilik Salon menghampiriku.
”Halo Tira... apa kabar? Tambah cantik aja nih... mau diapain?”Tanyanya sambil memegang-megang rambutku.
”Ah.. tante juga makin cantik... Cuci Blow aja tante....” Aku memuji balik tante mel dengan tulus bukan untuk mendapatkan potongan harga di salon ini. Tapi wanita forthy something itu memang another demi moore yang masih kayak tiga puluhan.
”Lho... tumben? Nggak sekalian perawatan yang lain?”