BAB 6
DENDAM MEMBARA
KEMISKINAN telah mencengkeram iman sutejo, sudah bosan dihina, direndahkan dan dilecehkan sebagai seorang yang banyak hutang. Sutejo memutuskan untuk menuruti nafsu setan. Keputusan yang dipilih telah melalui berbagai pertimbangan yang akhirnya mengalahkan hatinya. Wanita polos yang mengabdikan diri untuk suami dan anaknya yang sudah tumbuh menjadi jagoan pintar itu, terang saja tak pernah curiga. Baginya kunci keharmonisan rumah tangga adalah pengertian, saling percaya dan tidak banyak bertanya. Selama bertahun-tahun sutejo menguasai profesi itu. Dewi fortuna selalu berpihak padanya.
“Bos selalu baik dengan keluarga Kita, Bu.” Setiap pulang Sutejo selalu membawa banyak uang dan berbagai kebutuhan rumah tangga.
“Alhamdulillah Mas, berkat kesabaran Kita selama ini.” Laksmi menyambut hangat suaminya dengan senyum kebahagiaan.
“Minggu ini Aku libur seminggu Bu, jadi bisa menemani Kamu dan Yudis.” Ucapnya sambil menyeruput teh manis buatan Laksmi.
Laksmi sedang membuka kardus yang berisi, beras, telur, mie instan, gula, teh, dan berbagai jenis jajanan untuk Yudis. “Seminggu Mas? pasti Yudis senang mendengarnya.” Laksmi tersenyum merekah, kemudian membawa kardus berukuran panjang tiga puluh dua senti meter, lebar dua puluh senti meter dan tinggi dua puluh tiga senti meter itu ke dapur.
“Ayah…. Ayah…. Ayah…. Hore Ayah pulang.” Ungkap Yudis yang berlari dari kamar tidur, setelah terbangun mendengar suara batuk Sutejo. “Ayah bawa jajan untukku?” tanya Yudis yang langsung memposisikan diri dipangkuan Sutejo.
“Tentu. Tapi Yudis harus mandi dulu sebelum makan jajan. Kan sudah sore.” Kata Sutejo yang mendekap teduh anak laki-lakinya itu.
“Sa-tu saja Yah.” Yudis mengacungkan tangannya menujuk wajah Ayahnya.
“Enggak. Harus mandi dulu.” Kata Sutejo santai namun tegas.
“Iya deh iya, Aku mandi dulu.” Yudis berlari ke belakang untuk memenuhi syarat Ayahnya.
“Mas, banyak tetangga yang menggunjing keluarga Kita. Katanya Kamu kerja ini lah itu lah tapi Aku nggak percaya. Apalagi setelah Kita merombak rumah. Telingaku sudah panas, Mas.” Adu Laksmi yang sudah kembali duduk bersama suaminya dan mulai membahas hal yang selama ini dipendamnya sendiri.
“Sebenarnya apa sih mau Mereka? miskin direndahkan kaya digosipkan.” Ujar Sutejo yang mulai gerah dengan omongan miring tetangganya. “Siapa yang ngomong ke Kamu?” bola mata Sutejo yang memerah menyimpan amarah tertahan oleh panggilan menggelikan Yudis.
“A-yah…. A-yah, Aku sudah ganteng kan? mana jajannya?” Yudis menarik-narik tangan Sutejo yang melepaskan kepalannya.
“Wah, anak Ayah sudah ganteng. Ini hadiah untuk Yudis karena sudah menjadi anak yang nurut.” Sutejo mengelus-elus rambut cepak anaknya lalu meraih beberapa jajanan yang sudah diambilnya dari kardus terlebih dulu.
“Horee…. Terima kasih Ayah.” Yudis langsung berlari-lari di tempat setelah menerima jajan kesukaannya, terbuat dari daging cincang, lemak hewani, ternak dan rempah yang dikemas memanjang sebesar dua pensil 2B yang digabungkan dengan bahan sintetis yang diawetkan dengan cara pengasapan.
“Yudis, makannya di dalam sambil nonton TV ya ,Nak.” Bujuk Laksmi dengan senyum kecut.