BAB 7
KETURUNAN KEDUA
TIRA adalah jawaban dari doa laksmi di atas sebuah tikar daun pandan kering yang dirajut, di bawah lampu redup ruang beradu memohon segalanya pada-Nya. Lengkap sudah kebahagiaan keluarga sutejo, anak pertama laki-laki dan keturunan kedua perempuan. Namun tetiba perilakunya berubah setelah kelahiran tira sutejo. Sudah jarang pulang bahkan tak pernah lagi mengirim uang untuk kebutuhan sehari-hari keluarganya.
Laksmi mencoba menyusul sutejo ke kota yang penuh hiruk pikuk dengan gedung-gedung pemerintahan maupun perkantoran serta alun-alun luas yang ditanamai pepohonan rindang, trembesi dan beringin sehingga memberikan keteduhan dan kesejukann untuk ruang publik itu. Laksmi tak mempunyai alamat tujuan tempat kerja sutejo yang jelas. Ia pun hanya berjalan tak ada arah bersama kedua anaknya. Hingga berhenti pada suatu warung yang tidak begitu besar, terkesan sedikit berantakan di dekat pasar kota, untuk beristirahat dan makan siang. Di balik bilik sekat papan kayu, ia seperti mendengar seorang menyebut nama suaminya. Ia terus fokus memasang telinga mendengarkan percakapan beberapa orang dengan suara garang.
“Bu, kasar sekali Mereka bicaranya.” Seru Laksmi sambil menggoyangkan dagunya kearah penjual warung.
“Ssstttt…. Jangan keras-keras Bu.” Kata Ibu penjual warung, yang meletakkan ibu jarinya di bibir merekahnya. “Semua orang tak ada yang berani menegur Mereka.” Lanjutnya sambil memajukan tubuhnya mendekati Laksmi dengan berbisik-bisik.
Laksmi pun mengikuti lirih perkataannya. “Memangnya Mereka siapa, Bu?”
“Merek adalah preman dan perampok anak buah Banu.” Kata Ibu penjual warung itu, berkali-kali menelan ludah. Glegek! glegek! “Mereka sangat licik dan licin. Polisi sedang mengumpulkan barang bukti untuk mengentikan ulah gerombolan itu.” Lanjut Ibu penjual warung itu. “Oh iya, Ibu sepertinya bukan orang sini?” tanyanya penasaran.
Laksmi tersenyum dengan lirih berkata. “Iya, Bu. Saya hanya kebetulan lewat saja.” Laksmi memalingkan muka saat segerombol lelaki berbaju sangar itu melintas di sampingnya, ia juga segera menyembunyikan kedua anaknya dalam dekapan hangatnya. Pun dengan ibu penjual warung yang pura-pura sibuk membuat minuman. Laksmi sedikit melirik. “Mas Tejo. Ternyata selama ini Kau ikut sindikat itu, jadi benar apa kata para tetangga.” Pikirnya dalam hati. “Kenapa Kau tega menodai pernikahan Kita? Kau memberi makan Kami dengan uang haram.” Laksmi hanya bisa menangis dalam hati.
Laksmi benar-benar dihantam oleh kerasnya gelombang kehidupan. Dirinya tak menyangka, lelaki baik-baik yang dulu sangat perhatian dengan keluarga kini berubah menjadi sosok tak berakhlak. Langkah laksmi seperti menarik beton sepuluh ribu kilogram per meter kubik. Hanya demi kedua anaknya, ia membawa luka itu dalam doa.
Kaget bukan kepalang, sutejo sudah lebih dulu sampai di rumah. Dia rebahan di lincak {1} depan rumah. Jantung laksmi berdegup tak beraturan dag…, dug…, dag…, dug, layaknya mau perang mengahadapi penjajah belanda tempo dulu tanpa senjata. Sudah bisa dipastikan akan tumpah darah. Laksmi berjalan menyuruk-nyuruk, membungkuk menggendong tira dengan kain jarit motif parang dengan tali simpul yang sederhana dan menggandeng polos yudis.
Masuk rumah melalui pintu belakang melewati sempitnya gang antara temboknya yang menggumpil dengan papan kayu rumah tetengga, terpaksa ia lakukan untuk menghindari mulut suaminya. “Sssttt… Yudis pelan-pelan ikuti Ibu.” Beruntung Laksmi memiliki kedua anak yang penurut. “Bu, kenapa Kita menghindari Ayah? bukankah niat ke kota mau mencarinya?” Yudis menghentikan langkahnya dan sejenak memandang Sutejo yang sedang terlelap tidur, tanpa jeda Laksmi langsung menarik tangan Yudis.
Kriet! Kriet!
Pintu dapur belakang memang tak pernah dikunci selain karena ada engsel yang rusak, pintu dan kusennya tak bisa berpadu. Cara menutupnya hanya dengan mengganjal kayu balok dengan panjang satu meter, yang bisa dibuka dari luar melalui sela-sela pintu jika di dorong.
“Kalian pasti capek, segera tidur. Jaga Adik ya Yudis.” Laksmi mengantar kedua anaknya dalam satu kamar. “Ibu mau kemana?” tanya Yudis sambil memposisikan tidur disebelah Tira. “Ibu mau bersih-bersih dan memasak untuk Kalian.” Laksmi bangkit dari posisi duduk di kasur tempat tidur Yudis dan Tira.
Baru beberapa pijakan bertumpu pada lantai, laksmi dikagetkan dengan suara gedoran pintu yang berulang-ulang disertai teriakan kencang memanggil namanya.
DOR…. DOR….
Klek! Klek!
Laksmi membuka pintu tanpa mempersilahkan dan kembali berjalan menuju dapur.
“Kamu kemana saja sih, Bu? suami pulang capek-capek kerja malah dibiarkan di luar.”