BAB 8
KEANGKUHAN
SIALAN! brengsek!
Begitu kata sutejo saat bangun tidur, kepalanya bagai ditusuk ribuan jarum, seperti dihantam palu dan dilindas stoomwals {1}. Seakan diserang ribuan pasukan lawan yang menembakkan puluhan ribu peluru berulang-ulang tepat di dahinya, mau pecah. Hanya menunggu jala-jala menghampar menyanggah tubuh kekarnya yang lemah tak berkekuatan. Tubuhnya bagaikan layang-layang yang kehilangan arah mata angin, stagnasi di udara. Melayang kesana kemari kehilangan keseimbangan. Sutejo terus berteriak sambil memegang kuat kepalanya. Rupanya pijitan kecil di pelipis juga tak mengurangi rasa pening di kepalanya. Dia hampir menyerah, Pasrah.
“Laksmi, tolong Aku Laksmi.” Teriakan Sutejo mengundang langkah kaki Laksmi untuk menghampirinya.
“Ada apa Mas?”
“Kepalaku pusing banget, Bu. Tolong.”
“Hanya teguran kecil dari Tuhan, Kamu sudah berteriak-teriak seperti itu?” Kalimat Laksmi sontak memerahkan mata Sutejo dan membuat kepalanya semakin terancam hancur.
Mata hatinya sudah tertutup oleh keangkuhan, kesombongan dan dendam. Tak ada bunga mawar yang disiram air bangkai akan semerbak mewangi. Begitulah ungkapan sederhana yang bisa dipahami.
“Kamu tega Laksmi, menyumpahi Suamimu sendiri.” Sutejo semakin berang.
“Istigfar. Segera minta ampun pada-Nya.”
“Heuh. Belikan Aku obat pereda nyeri kepala, Laksmi.”
Laksmi berlalu tanpa kata. Sedang suaminya pun tak menginginkan satu bait kalimat terucap dari bibir pucat laksmi yang sudah jarang dipulas.
“Laksmi…. Laksmi, cepat tolong Aku. Jangan biarkan Aku mati percuma.” Teriak Sutejo yang tak mampu bangkit dari tempat tidur. Perlahan mencoba untuk mengangkat tubuhnya, namun berulang kali gagal. Ia hanya bisa menyandarkan tubuhnya ke sandaran amben.{2} Bahkan kedua kelopak matanya berputar-putar memandang ruang sekitar. Seakan-akan ia akan menghadapi sakaratul maut
Selang beberapa menit laksmi datang membawakan aspirin untuk sutejo. Dalam kekecewaan terhadap suaminya yang seperti padi ditanam tumbuh ilalang, laksmi terus memanjatkan doa untuk keselamatan keluarganya. Semoga kelak keturunannya tak akan menuai polah ayahnya.
“Nih obatnya, Mas.” Laksmi menyodorkan aspirin dengan segelas air putih.
Tanpa banyak bertanya sutejo langsung menyautnya dari tangan kecoklatan Laksmi terkena paparan sinar matahari hingga sinar kebohongan suaminya.. “Makananku mana, Laksmi? Aku lapar.”
Rasa nyeri yang diderita sutejo adalah akibat janji palsunya saat ia kalah berjudi. Ditinju, ditonjok dan dilibas habis oleh beberapa lawan judinya yang membawa pasukan dengan tingkat kebugaran tinggi, ototnya terlihat di setiap bagian tangannya yang besar. Meski begitu tak ada luka yang nampak di sekujur badannya. Rohani sutejo telah di isi kodam oleh mbah wareng karmin untuk kejadukan. Namun jika disalahgunakan untuk kejahatan, akan balik menyerang imun tubuhnya.
“Makan saja di belakang,”
“Kamu masih bisa ngomong seperti itu, Laksmi? Kau mau membunuh Aku?” Seru Sutejo yang masih memegang erat kepalanya sambil sesekali memijat dan menjambak-jambak rambut yang setengah gondrong itu.
“Begitu saja mengeluh. Jangan berlebihan.” Laksmi meninggalkan keluhan suaminya dengan perasaan datar.