BAB 9
DI PELUPUK MATA
KISAH yang tertulis rapi di dalam album hati laksmi. Ibarat kepala menjadi kaki dan sebaliknya, ia lakukan demi buah tercintanya. Serangan demi serangan hidup menyelundup dalam keharmonisan rumah tangganya. Laksmi tak lagi semerbak dulu, bagaikan hijaunya daun yang kini telah menguning dan sebentar lagi kering lalu berguguran, hanya menunggu kepastian matahari terbenam dan langit mulai menghitam.
Saat mengayuh sepeda bernuansa vintage klasik dengan bintik-bintik bening di sekitar dahi hingga pelipisnya, laksmi mendapati sekilas wajah buram suaminya bersama gadis kampung yang bercitra negatif.
Kriek! Kriek! Bruuuuk!
Sudah habis stok kesabaran laksmi, seketika ia menghentikan kayuhan kakinya di pedal sepeda jengki itu kemudian mengambrukkannya sembarangan. Beberapa orang yang sedang asyik menggenggam botol hijau dengan bintang merah yang menghiasi dan membanting kertas persegi dengan berbagai gambar motif heart, spade, diamond, clube, jack, queen, king dan ace itu sama sekali tak memperdulikan wanita yang dianggap receh itu.
Di teras rumah kosong pinggir jalan kampung itu akan menjadi tanda kesengsaraaannya mulai terlihat di pelupuk mata.
“Mas Tejo, hentikan kebusukanmu.” Teriakan Laksmi seketika mengundang semua bola mata menoleh ke arah sosok wanita kusut, rambut acak-acakan dengan daster lecek yang dikenakannya. “Tobat Mas tobat, mau sampai kapan Kamu seperti ini, urusi anak-anakmu.” Lanjutnya dengan mencincing sebelah kanan daster panjang motif wayang itu. “Sebelum Tuhan menunjukkan azab yang lebih menyakitkan.” Lanjut Laksmi dengan tangan yang tiba-tiba dingin.
Mata sutejo membelalak hingga mau copot bagaikan harimau yang siap menerkam musuh yang telah membangunkan dari tidur nyenyaknya. Berlawanan dengan teman-temannya yang tertawa terbahak-bahak melihat kejadian pelabrakan laksmi.
“Tobat Jo, tobat.” Celetuk salah satu dari Mereka, di ikuti gelak tawa semua orang yang menyaksikannya.
Brengsek! batinnya tak mampu memendam amarah, sutejo segera melepaskan tangannya dari gandengan wanita cantik nan seksi yang menjadi kembang desa itu, kemudian mendekati laksmi.
“Laksmi. Pulang!” bentak Sutejo tak berselang menyaut tangan istri sahnya lalu menyeret dari rumah laknat itu.
“Lepaskan Aku.” Laksmi berusaha mengibas-ngibaskan lengannya, namun usahanya sia-sia. Genggaman Sutejo semakin kuat hingga menimbulkan warna biru kehitaman yang terlukis di lengan kasarnya. Tato bergambar garis-garis dari guratan telapak tangan sutejo membuat laksmi tak lantas menyembah sutejo. Tangan sebelahnya berusaha membantu usaha laksmi hingga gigitanpun diarahkan ke tangan sutejo.
“Ah. Sialan!”
Laksmi segera berlari mengambil sepedanya kemudian perdebatan itu berlanjut di gubuk reot, meski sudah di benahi beberap tahun yang lalu dengan uang haram yang tak dikehendaki laksmi.
“Kamu sudah merendahkan suamimu dihadapan orang banyak.” Kaki sutejo melenggang bebas di meja tamu yang mempunyai ukiran kecil di keempat sudutnya.
“Kamu malu di hadapan orang? Kenapa tidak malu dihadapan Tuhan yang telah memberimu hidup?” Laksmi terus membantah kata-kata yang terucap dari mulut keji suami yang ia cintai beberapa tahun yang lalu. Meski cintanya perlahan mulai terkikis oleh keadaan, tapi harapan laksmi tak pernah usai untuk mengembalikan kemesraan rumah tangga yang dulu pernah terajut indah.
“Keparat!” berkali- kali Sutejo membanting kakinya yang terbungkus sepatu kets karet keras di meja. “Apa maumu Laksmi?”
“Kembalilah seperti Mas Tejo yang dulu. Baik, beriman dan tak pernah arogan.” Seru Laksmi sembari menyilangkan kedua tangannya di dada.
“Miskin dan sering direndahkan? Tak sudi.” Tandas Sutejo ketus sambil membuang ludah ke lantai di hadapan Laksmi. Cuih.
Tak akan ada tanaman yang bisa tumbuh di padang pasir kecuali kaktus. Tak pula ada mawar yang tumbuh tanpa akar. Perumpamaan yang sesuai untuk peringai sutejo.
“Semua orang seenaknya menghina dan mencaci maki. Itu yang Kamu mau?” imbuh Sutejo sambil menghempas pot kecil yang menghiasi meja kayu jati pipih itu. “Sekarang, siapapun akan Kuhabisi jika melakukan hal itu lagi.”
Huaaaaa…. Huwaaaa…. Huwaaaa….
Tangisan Tira dibalik gorden polos merah marun sebagai pembatas ruang tamu dan ruang tengah itu tak juga menghentikan amukan sutejo. Ia secepat petir manyambar laksmi yang berlalu begitu saja setelah tangisan tira semakin keras.
“Sekali lagi Kamu melakukan hal seperti tadi, akan Kau terima akibatnya. Ingat itu!” Ancaman Sutejo mengantarkan laksmi dengan helaan nafas panjangnya.
Sutejo meninggalkan rumah dan kembali bergabung bersama teman-temannya dalam lingkaran setan itu. Hanya berjarak ratusan langkah kaki dari rumahnya.
“Mas, nanti istrimu marah loh, kalau Kamu kesini lagi.” Seru Rani menyambutnya dengan manja.
“Sudah Kubereskan. Tenang saja.” Sutejo menerima rangkulan gadis muda yang saat ini menjadi kekasih gelapnya itu.
Demi uang rani melakukan pekerjaan hina itu. Memacari hingga menemani siapa saja yang sanggup memberikan semua yang dimintanya. Kali ini giliran sutejo, diperas hingga tamat. Semua warga kampung sudah mengenal watak dan karakter gadis muda putus sekolah itu, karena harus membantu biaya perawatan ibunya yang sakit kanker darah atau leukemia.
Tak mudah hidup sendiri dan menanggung orang tua dengan penyakit mematikan itu. Tak ada yang memilih menjadi budak setan, kalau bukan karena terpaksa. Itulah ungkapan pembelaan untuk para pelaku sosial yang melenceng dari ajaran agama. Rani adalah mekar-mekarnya kembang saat itu, namun semua dirusak oleh perbuatan keji dukun cabul yang mengaku mampu mengobati penyakit ibunya dengan menyerahkan tubuhnya setelah dimandikan air sumur dan kembang tujuh rupa.
Terkurung dalam budaya tradisional di kampungnya, membuat rani terjebak dalam syarat dukun tua bangka itu. Berkali-kali ia memberikan wangi tubuhnya dan aura kecantikannya yang membuat para lelaki menelan ludah. Glegek. Kesembuhan ibunya tak kunjung berangsur, namun semakin parah bersamaan dengan kecurigaannya terhadap dukun keparat yang telah menikmati kemolekan tubuh seksi rani berkali-kali.
“Saya laporkan Mbah ke polisi.” Gertak Rani sambil menekuk kedua tangannya di pinggang dengan mata melotot seperti mau melompat.
“Sabar, Nak. Semua butuh proses, tak ada yang instan kecuali mie.” Mbah Dukun itu hanya bisa menunduk gemetaran.
“Jangan bercanda.” Bentak Rani diikuti dengan gertakan kakinya ke lantai.
Semenjak itu dukun yang mengaku sanggup mencabut penyakit yang bersarang di tubuh ibu rani, tak lagi terlihat batang hidungnya, menghilang bagai ditelan alam. Sejujurnya rani hanya menggertak saja, dia juga tak mempunyai cukup keberanian untuk menahan malu karena kebodohannya.
Berbulan-bulan rani memenjarakan dirinya di kamar hingga akhirnya tergugah oleh jeritan ibunya yang kesakitan menahan penderitaan dari penyakit yang menggerogoti tubuhnya. Posturnya yang mengecil, beberapa organ yang melemah fungsinya, mual dan muntah, ototnya yang mulai kehilangan kendali membuat rani tak bisa berdiam diri.
Dalam kebingungan mencari biaya untuk ibunya, tiba-tiba layar ponselnya berkedip-kedip. Ia segera berdandan cantik untuk memenuhi panggilan seorang pemuda gendut dan sama sekali tak memiliki sisi ketampanan sebagai seorang lelaki yang dulu pernah ditolaknya. Tak ada pilihan lain! katanya dalam hati sambil berjalan terburu-buru mengeratkan jaketnya.
Pertama kali ia menghabiskan cinta satu malam dengan pemuda terkaya di kampungnya, ketagihan dengan cara yang mudah untuk mendapatkan uang, akhirnya rani memutuskan untuk menjadi wanita simpanan atau penghibur dengan tarif yang telah disepakati.
*****