BAB 10
LELAKI SIMPANAN
SETELAH peristiwa penggasakan rumah kosong di jalan diponegoro terungkap dan banu terbukti menjadi dalang di balik kasus itu. Sutejo tak lagi kecipratan rejeki, komplotannya kini telah ditahan. Beruntung malam itu sutejo tak ikut dalam aksi banu dan teman-temannya.
“Bagaimana Bos bisa tertangkap?” tanya Sutejo lirih saat menjenguk Banu di dalam rumah tanahan.
“Brengsek! kenapa malam itu Kamu tak ikut?” Banu mulai meletakkan kedua tangannya di meja dan sedikit membungkuk mendekati wajah Sutejo yang lebat jambang.
“Aku mabuk berat bos, hampir mati terkapar di teras rumah.” Sutejo pun mengikuti gerakan Banu.
“Harusnya mati saja Kau.”
“Jangan begitulah Bos,”
“Aku tak betah di sini. Sumpek. Kamu bisa membantuku kabur?”
“Itu terlalu beresiko Bos. Aku tidak berani.”
“Lalu buat apa Kau kemari?”
Bola mata Sutejo menoleh ke kanan kiri melihat situasi, setelah merasa aman tangannya bertemu dengan tangan Banu untuk mentrasfer uang. “Ada sedikit, Uutuk keperluan Bos di dalam.”
“Terima kasih Jo. Semoga Kamu segera menyusul Kami semua di sini.”
“Brengsek!
Sutejo tak tahu lagi harus bagaimana, tak mungkin ia menjalani profesi itu seorang diri. Namun akan kerja apa dia setelah teman-temannya pensiun dini dalam hotel prodeo itu. Dia terus berjalan sambil membakar glintiran tembakau kering, setidaknya bisa mengurasi tingkat stresnya.
Berhenti di sudut kota di sebuah bangku panjang beton yang sengaja dibuat pemerintah untuk mempercantik daerah trotoar yang sedang mengalami pelebaran jalan, jarak pandangnya dari rumah tahanan masih jelas terlihat. Ada seorang ibu paruh baya yang sedang berlari mengejar lelaki yang setipe dengan sutejo, sambil gemetaran dan berteriak-teriak minta tolong.
“Tolong…. Tolong, jambret.”
Awalnya sutejo tak ingin berurusan dengan kriminal seperti yang ia lakukan sebelumnya. Eitss, kalau aku menolongnya siapa tahu dikasih uang atau aku ikut meloloskan penjambret itu. Ah massa terlalu banyak, sama saja bunuh diri. Pikirnya licik. Tiba-tiba sutejo menghadang lelaki yang memakai masker penutup muka itu dengan jregalan {1} kakinya yang berselonjor lurus sehingga tersungkur di lantai dan dompet itu dengan aman ditangkapnya.
Dengan nafas tersengal-sengal, sedikit menyesakkan dada ibu itu tertatih berkata. “Terima kasih Mas, sudah menolong Saya.”
“Sama-sama, Bu. Lain kali lebih hati-hati.” Ujar Sutejo seketika pura-pura menjadi orang baik.
“Saya Ana, Mas siapa?” Bu Ana menyodorkan tangan kanannya mengajak bersalaman.
“Saya Tejo.” Sutejo pun membalasnya.
“Sedang apa Mas Tejo di sini?”
“Saya sedang menjenguk teman.”
“Sakit? Sakit apa?”
Terlalu basa-basi, Sutejo malas menanggapi. “Iya.”