BAB 11
SEPOTONG COKELAT
BERJALAN bergandengan adalah hal biasa yang dipertontonkan adik dan kakak pada umumnya. Begitu pun yudis dan tira. Sorot matanya mengandung makna kasih sayang yang istimewa dalam sebuah keluarga. Luka masa lalu selalu menjadi pegangan mereka sebagai alasan untuk menyimpan dendam kepada ayah yang tak mempedulikannya dalam kemasan yang rapi, sehingga tak tercium oleh ibunya yang hingga saat ini masih menyimpan rasa, meski tak mengakuinya.
“Doni, bagaimana menurut Kakak?” seru Tira sambil membawakan segelas es teh manis untuk Yudis yang sedang menonton TV.
“Kamu mau selingkuh?” seketika Yudis tersedak dengan ludahnya sendiri. Kaget.
“Aku sudah putus dari Reno, dia yang selingkuh Kak.”
“Reno menyakitimu? berani sekali Dia. muka pas-pas an saja banyak gaya.” Yudis segera menyahut segelas minuman berwarna merah kecoklatan bening itu dari meja lalu menghabiskannya dalam sekali tegukan. "Kakak adalah orang pertama yang tak terima jika ada yang berani menyakitimu."
“Tidak Kak.” Tira mendekat dengan cepat menahan kepalan tangan Yudis, takut dengan kemarahan Kakaknya. “Biasalah anak muda, cinta monyet. Kayak Kakak nggak pernah muda saja."
“Kakak nggak pernah pacaran. Hidup Kakak hanya untuk Ibu dan Kamu.” Katan Yudis tegas sembari memalingkan muka.
Tira menghela nafas panjang-panjang dalam diam dan berlalu begitu saja menuju kamar yang bersebelahan dengan kakaknya.
"Hai Kenapa pergi?"
Ucapan yudis tak membuatnya menghentikan langkah kakinya, ia terus maju untuk mengambil sebuah buku diary yang sudah bersarang laba-laba, lalu kembali ke hadapan Kakaknya.
“Bagaimana dengan Ini?” Tira menunjukkan buku hitam dengan pita hijau di tengah-tengah selipan beberapa halaman itu.
“Dari mana Kau temukan itu? buku diary sialan. Sini biar Kubakar saja. Tak berguna.” Yudis mulai mengeluarkan tanduk kemarahannya, memalingkan muka memandangi poto pernikahan orang tuanya yang terpasang di dinding bifetnya dengan mata tajam. “Lelaki brengsek! itu hadiah dari Ayah waktu Kakak ulang tahun dulu.” Yudis mengelus-elus dadanya menahan emosi. Sabar sabar.
Tira mendesah. “Hmmm... Masih untung Kakak bisa kenal hadiah dari Ayah, lah Aku? disentuh saja tidak pernah.” Tira menggigit bibir bawahnya, geram.
“Sudah, sudah Ayo istirahat.”
Yudis sengaja menebar kebencian, ia terus menanamkan dendam di hati adik kandungnya itu. Yudis tak ingin ada laki-laki yang buruk hati menyakiti adiknya makanya setiap Tira mempunyai pacar ia selalu menyeleksi. Tak jarang tira merasa terkekang oleh kakaknya yang selalu over protektif, tapi mau bagaimana lagi, dia tak bisa melarang kakaknya untuk waspada dalam menjaganya meski tira tak pernah aneh-aneh.
“Siapapun yang menyengsarakanmu, akan Kakak bunuh.” Yudis membanting sabit yang dipegangnya usai mengambil rumput untuk makan sapi potong yang dibelinya dengan uang tabungannya ditambah uang bantuan dari desa.
“Kakak jangan gila dong, nggak ada yang seperti itu Kak.” Tira membalas kemarahan Kakaknya dengan membuang tangannya ke mana saja kemudian berlari ke kamar dan membanting pintu keras-keras.
DUAR!