GEMURUH itu sejenak menghentikan lamunan yudis, ia memalingkan wajahnya dari layar ponsel yang dibiarkannya menyala sedari tadi, melayangkan kedua bola matanya kearah jendela yang sedikit tersingkap dari gorden biru polos. Rupanya langit dengan tumpukan awan-awan putih berubah menjadi abu-abu lalu menghitam. Bau anyir yang terbawa oleh angin menyelinap menusuk hidung yudis. Iya hujan akan segera turun.
Tak lama berselang hujan begitu deras mengguyur kampung ronggo yang kekeringan akibat kemarau panjang, banyak petani padi yang mengalami gagal panen, sungai yang berada di perbatasan desa pun surut, hewan berbisa terpaksa keluar dari sarangnya mencari air untuk diminum. Semua warga mengucap syukur atas pertolongan Tuhan malam itu, kecuali yudis dan tira menghawatirkan ibunya yang masih sibuk mengais rejeki lembur di rumah ketering bu eko hingga larut malam pukul 23.00 WIB karena pesanan yang melampaui banyak.
Yudis dan tira saling beradu pendapat dengan nada keras berlomba dengan gemericik air yang jatuh menghempas genteng bagaikan alunan gamelan yang sengaja ditabuh oleh para seniman. Tira bersikukuh akan berangkat ke Jakarta untuk melanjutkan kuliahnya dan bekerja di sana demi meraih cita-cita menjadi orang kaya. Dia akan membuat ayahnya menyesal tak pernah mengingat kalau mempunyai anak gadis pintar sepertinya.
“Cukup. Jangan bebani Ibu dengan keinginan konyolmu. Kamu mau Ibu cepat mati?” seru Yudis dengan suara lantang seperti menggunakan corong pengeras masjid.
Tira tak mau kalah dengan kakak satu-satunya yang Ia sayangi. “Kakak kurang gaul sih, katanya Kakak mau membantu Aku membalas dendam pada Ayah, mana? Teriaknya tepat di wajah Yudis hanya berjarak beberapa meter saja.
"Balas dendam tak harus merantau ke Jakarta."
"Mau kerja apa di sini? Pembantu? Peternak? atau pentani? tak ada di kamus hidupku memilih profesi itu. Tekadku sudah bulat. Dengan atau tanpa ijin Ibu, Aku akan tetap berangkat ke Jakarta." Tira menarik tubuhnya untuk duduk nyaman di kursi.
"Kakak bersumpah tak akan membiarkanmu pergi dari rumah kenangan ini."
"Tak ada yang bisa menjamin hidupku ke akan bahagia kalau Aku tetap di sini, termasuk Kakak atau bahkan Ibu."
"Kamu sangat keras kepala, Tira. Kakak seperti tak mengenalmu, siapa yang membujukmu untuk pergi ke Jakarta?"
"Omong kosong."
Derasnya hujan bagaikan tetesan bening yang menghiasi dahi pelipis yudis meski suhu udara sangat dingin memeluk malam itu. Perdebatan yang tak berujung itu lumayan meregangkan otot-otot yudis yang kaku akibat tak pernah olahraga, hanya sebatas menggembala di lapangan dengan rerumputan yang menghijau.
Tok… tok… tok
Mendengar samar-samar suara laksmi memanggilnya, tira segera berlari menyambut ibunya yang basah kuyup berselimut dingin.
Klek! Klek!
“Ibu kok basah semua, nggak bawa payung?” tanya Tira menuntun Ibunya hingga ke belakang setelah menutup dan mengunci kembali pintunya.
“Tadi sudah reda, eh ditengah perjalanan hujan kembali turun. Basah deh.” Jelas Laksmi dengan bibir yang gemetar menggigil diguyur lebatnya air ciptaan Tuhan.
“Ayo masuk, Bu. Aku rebuskan air untuk mandi.”
“Iya, Ra makasih.”
Waktu terus berjalan hingga pada akhirnya tira merasakan keanehan pada dirinya, wajahnya pucat seperti kertas yang tak bergambar, tangannya gemetaran bagaikan berdiri di atas gempa 5,8 SR, seketika tubuhnya lemas tak bertulang. Seperti petir yang menyambar di siang bolong, bagaikan bunga teratai yang hidup di gurun pasir. Begitu lah perasaan tira saat mengecek suhu tubuhnya dengan termometer melampaui empat puluh derajat celcius. Kaget, tidak percaya. Ini tidak mungkin. Sedangkan aku tak merasakan apapun, hanya panas di sekujur tubuhku.
Tira memanggil ibunya, namun tidak menjawab, kemudian tira perlahan menginjakkan kakinya bagai melayang menuju kamar kakaknya, Jleb! tira menyaksikan sebuah ritual yang dilakukan kakaknya dengan memutar-mutar poto di atas kuali dengan komat-kamit mulutnya menyebut mantra di sudut kamar di lantai tegel kuno bernuansa klasik dengan warna tanah. Jaman dahulu lantai tegel banyak digunakan untuk kalangan para bangsawan di lingkungan keraton Yogyakartan karena memilki kualitas yang bagus dengan nilai estetika yang tinggi, namun seiring berkembangnya jaman modern, hampir semua orang beralih ke granit dan marmer untuk kalangan menengah ke atas. Untuk kebanyakan keluarga di kampung laksmi hanya mampu menggunakan tegel kuno atau keramik putih polos berukuran tiga puluh kali tiga puluh sentimeter.