BAB 14
AIR MATA KELULUSAN
MIKROFON wireless Bluetooth, sebagai pengeras suara di dalam aula SMP N 1 Laweyan yang digenggam oleh MC berhasil mengalihkan iris mata para tamu yang sibuk dengan handphone nya, menghentikan obrolan dengan samping kanan kirinya yang mendesis riuh. Waktu yang ditunggu-tunggu telah tiba yaitu pengumuman kelulusan. Semua orang yang berada dalam acara perpisahan itu berdebar-debar seperti menunggu giliran untuk di suntik vaksin.
Gaungan nama tira sutejo sebagai peringkat satu sekaligus siswa berprestasi dan menjadi juara umum dengan nilai ujian nasional tertinggi se-kabupaten plembang menggema, alunan musik piano yang mengiringi naiknya tira ke panggung untuk menerima medali serta piala berkaki empat, mampu mencairkan air mata yang ditahan oleh laksmi sedari tadi. Hatinya nyaris hancur berantakan mengingat luka belasan tahun, sekejab menggumpal bersatu padu.
Ucapan selamat dari para guru hingga teman-temannya tak berhenti mengalir. Namun wajah tira mendung, bingung dengan gerakan yang ada di dalam perutnya.
“Tira selamat ya, Ibu berjanji akan bekerja lebih giat lagi untuk menyekolahkanmu ke jenjang yang lebih tinggi.” Seru Laksmi memeluk erat Tira. “Ibu bangga padamu, Nak. Akhirnya Kamu bisa sekolah dengan beasiswa prestasi.” Lanjut Laksmi menepuk-nepuk bahu Tira. “Sini pialanya biar Ibu yang membawakan.”
Tira hanya tersenyum sejenak dan tidak memberikan reaksi apapun, wajahnya datar sedatar lapangan voli di sekolahnya. Tira tidak nyaman dengan banyaknya orang-orang yang tak mengetahui masalahnya mengucapkan selamat dengan ketulusan.
“Dari tadi Ibu perhatikan Kamu duduk melamun dan lebih banyak diam tak seperti biasanya, kenapa Ra? sebagai juara umum murid berprestasi harusnya bangga dengan dirimu sendiri atau ada masalah lain? cerita sama Ibu.” Ungkap Laksmi sesampainya di rumah setelah menempuh perjalanan kurang lebih satu jam menaiki angkutan umum dan mengayuh sepeda sekitar lima belas menit. Kampung terpencil yang Ia tinggali memang tak terjangkau kendaraan jadi untuk menuju jalan raya harus menggunakan kendaraan pribadi motor atau sepeda.
“Nggak apa-apa, Bu. Aku hanya capek saja.” Jawab Tira meletakkan piala dan medalinya di meja lalu membanting tubuhnya di kursi busa ruang tamu. Ia bersandar di penopang kursi, memiringkan tubuhnya menyangga kepala dengan satu tekukan tangan.
“Sekali lagi Ibu bangga sama Kamu Ra, hebat bisa mendapatkan beasiswa diberbagai perguruan tinggi bergengsi dengan beasiswa pula. Kapan pendaftaran mahasiswa baru, Ra? kamu milih kuliah di kabupaten Kita saja, Nak. Jangan jauh-jauh, yang penting kan kuliah.” Nasihat Laksmi dengan senyum merekah dan memandangi piala yang berada di depannya itu. Ia terus membayangkan anaknya memakai almamater perguruan tinggi, betapa bangganya seorang laksmi.
“Adik mau melanjutkan kuliah, Bu?” Tiba-tiba Yudis muncul entah dari mana.
Tira hanya melirik yudis sinis.
“Iya Dis, lihat ini. Kamu tahu nggak nama Adikmu sekarang terkenal. Menjadi juara umum se-kabupaten plembang membuatnya digandrungi beberapa perguruan tinggi untuk menawarkan beasiswa, kalau Ibu sih setuju-setuju saja kalau Adikmu kuliah, asal dekat-dekat sini saja.” Jelas Laksmi sambil memegang beberapa pahatan marmer putih dengan tempelan burung emas diatasnya yang tersusun bertingkat-tingkat itu ke arah Yudis. Laksmi penuh harapan dan kebahagiaan menceritakan prestasi Tira.
Sejenak yudis terdiam, dia tak bisa membayangkan betapa terguncang hati ibunya jika mengetahui bahwa tira hanya mau melanjutkan kuliah di Jakarta.
“Aku ke kamar dulu, Bu. Mau istirahat. Ibu juga istirahat ya.” Kata Tira sembari bangkit dari duduknya dan berjalan menahan pening di kepalanya dengan memegangi dahinya. Ternyata pijatan kecil di pelipisnya sama sekali tak mengurangi rasa pusing di kepalanya.
“Tira, tunggu dulu. Kenapa Kamu nggak semangat saat Ibu membahas tentang kuliah?”
Ucapan Laksmi menghentikan langkah kaki Tira lalu membalikkan badan sejenak dan berkata. “Bukannya nggak semangat, Bu. Aku sedang tidak enak badan. Kepalaku pusing banget. Lagian percuma Aku ngomong, Ibu juga nggak akan setuju.”
“Iya, dari tadi Ibu melihat Kamu memegangi kepala terus. Ibu setuju Kamu kuliah Ra, asal dekat."