TIRA Miss You

Rosalia
Chapter #16

BAB 15 SELAMAT DATANG KEMATIAN

BAB 15

SELAMAT DATANG KEMATIAN

GUNUNG tinggi longsor berubah menjadi gurun, air sungai tiba-tiba membeku. Begitulah kesediahan laksmi menyaksikan panggung sandiwara kehidupan yang nyata. Penuh luka dan air mata dirinya mengasuh anak-anaknya hingga dewasa. Namun kini keras sekali tira melawan untuk tetap berangkat ke Jakarta.

“Aku nggak akan minta uang sama Ibu, justru Aku lah yang akan mengirim uang untuk Ibu. Dan setelah Kakak menikah nanti entah dengan siapa dan tinggal dimana, Ibu akan ikut denganku.” Seru Tira dengan wajah penuh pemaksaan.

“Ibu akan tetap tinggal di sini.” Ujar Laksmi menahan derai air mata.

Tira kemudian bersimpuh menunduk memohon keikhlasan di kaki Laksmi yang sedang duduk di kursi rotan busa dengan pandangan urus ke depan. “Ayolah Bu, sekarang sudah jaman modern. Ubah pola pikir Ibu.”

“Kalau Kamu mau pergi, pergilah. Tapi langkahi dulu mayat Ibu.” Kata Laksmi dengan nada tinggi, setinggi pohon telapak lilin.

Tira mengangkat kepalanya memandang jelas wanita yang telah berjuang melahirkanya dengan taruhan nyawa. “Astagfirullah, kenapa Ibu berbicara seperti itu.”

“Pamali seorang perempuan pergi meninggalkan kampung untuk merantau hanya demi keegoisan semata.”

“Bu, dengarkan Aku. Tidak ada anak yang senang melihat ibunya menderita lahir maupun batin, Aku ingin mengangkat derajat Ibu. Dengan kuliah sambil kerja di sana insyaAlloh Aku akan sukses. Kita beli mulut-mulut mereka yang telah menghina Kita.” Tira terus berusaha membujuk Laksmi perlahan

“Biar Allah yang membalas. Tugas Kita sebagai manusia hanya memohon pada-Nya.” Ucap Laksmi menghemas tangan Tira yang sedari tadi menggenggamnya.

Drama seperti itu hampir setiap hari terjadi sejak pengumuman kelulusan tira. Semula laksmi bangga dengan anaknya yang diperebutkan berbagai perguruan tinggi untuk masuk menjadi mahasiswa dengan beasiswa prestasi. Namun semua berubah jadi bumerang bagi dirinya.

Budaya di kampung ronggo, tak ada perempuan yang pergi meninggalkan rumah kecuali diboyong mengikuti tempat tinggal suami. Dan itu berlaku untuk tira yang saat ini masih perawan. Masih menganut tradisi jaman nenek moyang, banyak pantangan yang harus dijalankan. Sebagian warga mempercayai apabila melawan pantangan-pantangan yang sudah ada sejak nenek moyang akan mendapatkan bala petaka.

 “Sudahlah, Dik. Bukankah lebih enak duduk manis di rumah. Biar laki-laki yang bekerja.” Timpal Yudis sehabis mandi membersihkan diri dari menggembala sapi.

“Kakak bilang laki-laki yang bekerja?” Sontak Tira naik pitam. “Ibu pontang panting bekerja sendiri, memang Ibu laki-laki? Kakak juga hanya mengambili rumput, mana bisa dapat uang?”

Perkataan Tira seketika membuat Yudis geram, matanya memancarkan sorot akan menyerang, wajahnya memerah bagaikan darah. “Jaga mulutmu, Tira. Jangan hanya karena keegoisanmu lalu dengan mudah Kamu menyakiti orang” Kaki Yudis lalu menghentak di lantai.

Tira tertunduk lesu dan malas menanggapi keluarganya yang dianggap dungu. “Terserah, bukankah Kakak yang selalu menyisipkan kata-kata benci padaku sejak kecil? bukankah Kakak yang selalu menaruh dendam pada Ayah? bukankah Kita akan bersatu untuk melawan Ayah? kenapa seakan-akan Aku menjadi orang yang sangat bersalah?”

Begitu pertanyaan demi pertanyaan menyerang yudis, tira akan membuka tabir dendam membara yudis pada ayahnya yang tidak diketahui oleh ibunya. Di sisi lain dia menyimpan dendam pada ayahnya, sutejo. Namun dia tak ingin melihat ibunya sedih ditinggalkan anak perempuan yang menjadi kebanggaannya. Rumah akan terasa hening jika mereka hanya tinggal berdua.

Lihat selengkapnya