PROLOG
SEHARUSNYA Tira sudah tahu penolakan keras dari ibunya tak bisa ditawar, bagaikan batu ancala tak kan bisa diterjang gelombang sedahsyat apapun. Kalimat demi kalimat yang sudah teritata rapi akan diluapkan dari bibir pink tira yang sering dirawat dengan mengolesi madu kelengkeng kepada malaikat renta yang rambutnya sudah mulai memutih, kulitnya kisut, beberapa giginya sudah ompong. Namun keberanian tira semakin ciut saat dirinya berjalan menghampiri laksmi yang sedang memasukkan beberapa kayu bakar kedalam tungku coklat asli dari tanah liat. Mustahil. Batin tira menarik tubuhnya kembali. Dirinya tahu bahwa keputusan ibunya yang telah dilontarkan tak mungkin direvisi. Tetap pada pendirian, sekali tidak tetap tidak.
Maju satu langkah mundur dua langkah, tubuhnya selayak melayang membayangkan apa yang akan terjadi nanti. Mungkin ia bagaikan pasir yang tertiup kencangnya angin. Hilang tercecer bercampur apapun yang berwujud.
“Apaaaa?” satu kata yang keluar dari laungan bibir laksmi yang kering dan pecah-pecah seperti hatinya yang terbelah-belah seketika, hancur berantakan. Mata nanarnya menyemburkan peluh bening terus-menerus, tubuhnya seakan lunglai hingga tersungkur bebas ke lantai ubin kotak-kota kecil berwarna kuning polos. Gorden pintu yang ditarik untuk menopang tubuhnya ikut bergelayut bersama jiwanya yang sangat perih.
“Pantang pulang sebelum menang, Bu.” Kata Tira tersengal-sengal, wajahnya datar sedatar pelataran depan rumahnya, Tira sedang berusaha menghapus ketakutan untuk mengatakan keinginan yang dikunci rapat-rapat sejak dulu. Rencana itu pecah saat Tira melihat gerakan aneh Laksmi memukuli dirinya sendiri, jika tira nekat pergi.