BAB 2
HATI LAKSMI
HANYA ingin mati saja.
Begitu batin laksmi bergejolak. Seakan ia tak sanggup jika harus mendengar sliweran mulut para tetangga yang mampir untuk mencemooh dirinya. Tak pecus mendidiklah, tak bisa menjagalah, tak mampu mengarahkanlah, semua kesialan itu selalu menyelimuti jiwanya. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Pribahasa yang tepat untuk keterpurukannya kali ini. Menjadi janda disaat anak masih kecil, bertahan untuk memenuhi kebutuhan hidup hingga menjadi orang tua tunggal bagi anak-anaknya setelah gugatan cerainya dikabulkan oleh majelis.
Bukan suatu hal yang mudah untuk menyelami hidup dalam penderitaan karena luka masalalu. Laksmi tak kan pernah lupa dengan perilaku sutejo, lelaki yang pernah mengisi ruang hatinya dan memberikan dua buah hati yang begitu ia sayangi. Semenjak kenal dengan rani, gadis muda yang hobi menggoda suami orang demi uang, sutejo menjadi pribadi yang tak terkontrol emosinya.
Pernikahan mereka hanya bertahan tujuh tahun dengan lika-liku ujian yang mengisi. Hidup dalam garis kemiskinan membuat sutejo gelap mata dan sering mengkambing hitamkan laksmi. Dia menganggap pertolongan Tuhan itu tidak ada, betapa tidak kesengsaraannya selama ini tidak juga segera di entas oleh-Nya. Merampok, menipu, berjudi hingga menjadi lelaki simpanan janda kaya sudah menjadi telatah dalam hidupnya.
Laksmi yang mengetahui tabiat suaminya, tak sudi menerima nafkah sepersepun. Lebih baik mati kelaparan dari pada harus memakan uang haram. Begitu batin laksmi menolak. Semenjak saat itu sutejo tak pernah menafkahi kelurganya.
“Istigfar Mas Istigfar. Nyebut.” Laksmi merintih kesakitan setelah sutejo melayangkan pukulan yang mengenai lengan kiri Laksmi.
“Heuh…. Sekali lagi Kamu ngomong, ini akan menghampirimu.” Sutejo dengan kecepatan tinggi melepas ikat pinggang kulit sintetisnya dengan lebar tiga sentimeter yang menempel di celana jeans hitamnya. “Berani Kamu Laksmi?” Suara Sutejo semakin garang, matanya melotot, seperti orang yang sedang kerasukan aura jahat.
Laksmi yang masih berdiri di hadapan sutejo hanya bisa menepuk dadanya berkali-kali.
“Ampun Mas…,” Sutejo mendorong tubuh Laksmi hingga mentok tembok. Wajah berjambang yang tak pernah dicukur semakin ganas mendekat. Laksmi hanya pasrah, dia mendelikkan bola matanya menahan ketakutan.
Plaaakkk…
Alhambulillah. Batin laksmi selamat. Sutejo hanya menghantam tembok yang mulai lusuh dan berhilang catnya di belakang laksmi.
“Laksmi…, buatkan Aku makan. Cepat!” Teriakan Sutejo bagaikan orang yang tak mempunyai dosa. Posisi duduknya pun seperti preman yang suka nongkrong di warung kopi. Ia memperlakukan laksmi tak selayaknya istri. “Cepat Laksmi!” teriaknya kembali mengacaukan konsentrasi Laksmi yang sedang memasak nasi goreng untuk suaminya yang arogan itu.
Laksmi selalu berpegang teguh pada janji pra nikah yang mereka ikat bersama. Meski dirinya diperlakukan buruk oleh suaminya, ia tetap ingin berbakti dan menuruti semua perintah sutejo selama tidak bertentangan dengan agama yang dianutnya.
“Laksmiiiiii…. Laksmiiiii…. Cepat.” Karjo berteriak-teriak dan membanting tudung saji yang semula terletak di meja makan.
Hanya berselang lima menit, laksmi segera menyajikan sepiring nasi goreng dan telur dadar dihadapan suaminya. Harapan laksmi suatu saat nanti suaminya akan kembali menjadi orang baik seperti dulu.
“Yah…. Ayah besok hari terakhir membayar uang sekolah, kalau tidak Aku bisa dikeluarkan.” Tiba-tiba Yudis mendekati Sutejo yang sedang menikmati nasi goreng.