BAB 4
DAWUH SI MBAH
KAMPUNG ronggo, pukul 04.00 WIB.
Oekrrrrr…. Oekrrrr…. Oekrrrr….
Suara tangisan bayi mungil itu menyambut kumandang adzan subuh. Dibantu oleh bidan yang bertugas di kampung ronggo, laksmi melahirkan seorang bayi laki-laki yang lucu di puskesmas setempat. Jeritan dan tangisan dari mulut pipih bayi bersih nan suci itu, mampu meredam perihnya beberapa luka jahitan di jalan lahir akibat peregangan otot perineum saat mengejan sehingga terjadi robekan.
Segala tantangan selama sembilan bulan lebih sepuluh hari mengandung, lunas. Wajah imut yang dinanti-nanti akhirnya bisa sepuasnya dipandangi. Laksmi bersama sutejo meletakkan harapan yang amat besar dari putra pertamanya itu.
Allaahu Akbar, Allaahu Akbar. Allaahu Akbar, Allaahu Akbar.
Asyhadu allaa illaaha illallaah. Asyhadu allaa illaaha illallaah.
Asyhadu anna Muhammadar rasuulullah. Asyhadu anna Muhammadar rasuulullah.
Hayya’alashshalaah. Hayya’alashshalaah.
Hayya’alalfalaah. Hayya’alalfalaah.
Allaahu Akbar, Allaahu Akbar.
Laa ilaaha illallaah
Begitulah lantunan lafadz adzan dibisikkan oleh sutejo, dengan lembut dan penuh kasih sayang di telinga kanan lalu dibacakan iqomah di telinga kiri bayinya.
“Setiap bayi lahir akan disentuh oleh setan maka kemudian si bayi akan berteriak karena cengerakaman setan, kecuali Maryam dan anaknya.” H. R Imam Bukhari.
Tak henti-hentinya sutejo memandangi wajah jagoan mungilnya yang bergeliat dalam tangisan.
“Cup…, cup…, cup…. Lihat Bu, ini anak Kita. Mirip sekali sama Kamu.” Seru Sutejo sambil menimang-nimang si jabang bayi kecil moleknya usai dimandikan dan dibalut bedong jarit dilengkapi dengan topi rajut yang sanggup menghangatkan tubuhnya, lalu memperlihatkan wajah tak berdosa itu pada Laksmi yang masih terbaring lemas.
Selama kurang lebih delapan jam laksmi bertaruh nyawa. Goncangan hebat antara hidup dan mati disaksikan langsung oleh sutejo yang selalu memegang erat tangan laksmi menghadapi proses yang membuatnya ngilu itu.
Tiba-tiba terlintas dalam benak sutejo tentang pesan mbah karmin. Saat itu ia dan istrinya diutus ke rumah si mbah warengnya untuk diberi nasihat, sebelum seminggu kemudian menghadap Sang Khaliq.
“Sugeng dalu Mbah, wonten dawuh?” (“Selamat malam Mbah, Ada pesan?”) sapa Sutejo mengunjungi rumah mbah karmin. Satu-satunya mbah wareng, Bapak dari buyut Sutejo yang masih bertahan hidup. Usianya mencapai seratus lebih, kontur wajahnya semakin menciut keriput, kelopak matanya sayup-sayup menjorok ke dalam, giginya sudah berguguran, alisnya putih pucat nan memanjang, tongkat antik berbentuk U yang dibuat ketika jaman penjajahan belanda dan kursi roda bantuan dari pemerintahlah yang menjadi penopang tubuh rentanya.