Wanita paruh baya itu melangkah dengan tertatih. Di jalan setapak. Dari ladang menuju jalan desa. Beban di kepalanya sangat berat. Rumput yang disusun memanjang dengan diberi alas kayu kering dan diikat tali. Untuk makanan ternak sapi kami yang hanya seekor. Tubuhnya mungin tak sekuat dulu tapi semangatnya untuk tetap menjalani hidup tetap berkobar. Betapapun kerasnya, betapapun sulitnya. Bagiku, ibu peremuan tangguh.
Dengan setia aku mengiringi di belakangnya. Menjinjing peralatan ngarit rumput dalam wadah plastik lusuh. Selain itu ada juga rantang tempat bekal ibu ke ladang yang sudah penyok sana sini. Tak lupa, buntalan khusus yang wajib ibu bawa. Mukenah dan sajadah. Shalat Duhur dan Asar lebih sering ibu tunaikan di ladang. Di tempat shalat darurat yang dibangun orang dengan bergotong royong. Dekat sebuah tumur tua yang airnya masih jernih. Hanya sepelemaran batu dari ladang ibu.
Satu waktu aku pernah meminta kepada ibu untuk menyunggi rumput juga. Ibu menolak. Menurutnya aku masih terlalu kecil. Ibu juga kuatir, otakku akan tumpul jika dipakai menyunggi. Otakku masih harus dipakai untuk belajar. Tak boleh bebal karena tumpul. Entahlah, ibu benar atau salah. Yang pasti, aku tak pernah diperbolehkan menyunggi rumput.
Ibu tidak pernah sekolah. Tidak bisa baca tulis. Sekadar mengenal bentuk angka dan berhitung dasar bisa. Semisal menjumlahkan uang atau mengurangi. Mungkin karena kebiasaan sehari-hari waktu bertransaksi menggunakan uang. Waktu kecil ibu sudah disibukkan dengan mengembala kambing dan membantu pekerjaan di ladang. Tak diijinkan sekolah oleh kakek atau karena ibu yang tidak mau, aku kurang tahu. Meskipun begitu, ibu tak pernah alpa mengingatkan aku untuk belajar dengan tekun dan penuh semangat. Agar tidak sama dengan nasib ibu katanya. Sebuah cita-cita mulia dan tidak muluk-muluk.
Mejelang Maghrib kami sampai di rumah. Ibu menuju ke kandang yand ada di seberang rumah. Meletakkan rumput di tempat biasanya. Di samping tempat makan sapi kami. Keringat bercucuran memenuhi wajah. Ibu mengelapnya dengan kerudung yang sedang dipakainya. Tampak kerutan menua di wajah ibu tapi dengan binar mata menyala.
“Ibu, minum dulu.” Aku sodorkan segelas air yang kuambil barusan dari dapur.
“Terima kasih, Han.” Ibu duduk. Meminum air itu perlahan dalam tiga kali tegukan. Begitulah Nabi Muhammas Saw mengajarkan.
Aku kembali memandang wajah ibu dengan lekat. Wajah yang lelah. Mungkin capek setelah seharian bekerja. Berangkat pagi pulang petang. Atau karena beban hidup yang dideritanya sungguh berat.
Sebelum masuk SD aku sudah harus berpisah dengan ayah. Ibu dicerai dan ayah menikah lagi dengan perempuan lain di Jawa. Entah di Jawa mana. Sejak saat itu, ibu tidak menikah lagi sampai saat ini. Sudah ada tiga duda yang melamarnya. Ibu tidak mau dan aku pun tidak mau. Alasan ibu, tidak ingin aku dimarahi oleh lelaki yang bukan ayahku. Alasanku, tanpa alasan. Hanya tidak mau saja.
Aku kembali berpikir. Haruskah aku batalkan lagi keinginan untuk membicarakan masa depan pendidikanku dengan ibu. Sungguh, aku benar-benar tidak ingin menambah beban pikiran ibu. Selama ini, ibu telah berjuang sedemikian keras untuk bertahan hidup. Ibu berbeda dengan ibu teman-temanku. Jika mereka ke ladang, biasanya Duhur mereka sudah ulang. Sebagian ada yang kembali lagi ke ladang selepas Asar. Ibu seharian di ladang. Ibu berusaha menghidupi aku dengan layak. Agar sama dengan anak-anak lain yang punya ayah. Tekad itu ibu sampaikan waktu kami makan bersama. Sering diulang-ulang. Sejak ayah meninggalkan kami hingga sekarang. Hingga aku hampir lulus SD.
Aku ingin menyampaikan keinginanku untuk mondok. Belajar di pesantren. Menyusul teman-temanku yang duluan ke sana. Sebenarnya aku bisa melanjutkan pendidikan ke SMP di kota kecamatan. Tapi biayanya juga mahal. Biasanya, yang masuk SMP adalah anak orang berada di desa kami. Maka pilihan terakhir adalah mondok. Tapi ada yang tetap saja mengganjal. Bagaimana kalau ibu tidak setuju karena tak ada biaya? Bagaimana kalau setuju tapi dengan terpaksa? Bukankah nanti beban hidupnya akan tambah berat. Tapi kalau tidak mondok, berarti pendidikanku tak berlanjut. Aku hanya bisa membantu ibu di ladang. Nasibku nanti akan sama dengan ibu. Itu artinya cita-cita ibu tidak tercapai. Ah!
Adzan Maghrib berkumandang. Aku harus segera bersiap-siap berangkat ke langgar. Shalat berjamaah lalu belajar ngaji di sana. Ustadz Ruba’i yang masih kerabat ayah pasti sudah berdiri di halaman langgar. Menunggu kami para santrinya yang selalu datang terlambat. Aku mandi dengan cepat. Memakai sarung yang sudah berkerut pinggirnya dan kopiah hitam yang sudah kemerah-merahan. Cium tangan ibu dan berlari menuju langgar.
“Lambat lagi kamu, Han?” tanya Ustadz Ruba’i.
“Iya, Ustadz.” Aku menunduk. Tak berani mendongak. Ustadz Ruba’i tak pernah marah. Tapi entah kenapa. Teman-temanku segan padanya. Termasuk aku.
“Bukankah sekarang giliranmu untuk adzan, lupa ya?”
“Tidak Ustadz,” aku semakin menghunjamkan pandagan ke tanah, “saya baru datang dari ladang membantu ibu.”
“Lain kali pulang lebih awal ya kalau pas giliranmu adzan.” Pinta Ustadz Ruba’i.