Hari ini aku menerima bukti lulusku dari sekolah dasar. Ijazah itu aku serahkan ke ibu yang sedang duduk di bangku undangan acara perpisahan murid kelas enam. Ibu memang tak akan pernah bisa membaca tulisan yang tertera di ijazahku dan sekarang sedang didekapnya erat-erat. Dari pengumuman panitia tadi ibu tahu, aku menjadi lulusan terbaik. Mungkin itu sudah cukup membuatnya bangga dan dengan tulus mengecup keningku.
Ibu yang duduk di barisan belakang segera beringsut. Mengajakku pulang. Sebelum itu ibu memintaku untuk pamitan kepada para guru di kantor sekolah dan meminta restu untuk melanjutkan ke pesantren. Aku bergegas ke ruang guru dan menyalami mereka satu persatu. Memohon restu sebagaimana pesan ibu. Semua guruku memberikan semangat agar aku terus melanjutkan pendidikan dan tidak pantang menyerah.
Di bawah sengatan matahari hampir Duhur, aku keluar dari halaman sekolah ke jalan desa yang berdebu. Sampai di sebuah kelokan ibu kembali masuk ke jalan kecil. Aku tak perlu bertanya lagi ibu mau ke mana. Aku sudah hapal kebiasaan ibu. Setiap ada momen-momen tertentu atau sekadar rindu, ibu akan ke makam kakek dan nenek. Nyekar. Baca fatihah, shalawat dan memohonkan ampun untuk mereka yang sudah wafat. Ibu juga biasa pergi ke makam jika hari Kamis sore, menjelang malam Jum’at. Mendoakan orang tua yang sudah meniggal menurut ibu sangat dianjurkan. Oleh karena itu, ibu rutin melakukannya dan tak lupa untuk mengajakku turut serta. Begitulah salah satu cara ibu mendidikku untuk melakukan hal-hal yang baik.
Adzan Duhur berlalu beberapa menit ketika kami sampai rumah. Waktunya kami melaksanakan shalat Duhur. Ibu duluan ke belakang untuk ambil wudu. Aku masuk kamar. Menyimpan ijazahku di lemari kayu yang bagian bawahnya sudah berlobang. Dimakan rayap dengan lahap. Lemari itu peninggalan kakek. Menjadi tempat bajuku dan baju ibu. Lemari satu-satunya di rumah.
Selepas Duhur ibu mengajakku makan. Perutku memang sudah keroncongan. Sejak tadi padi tidak sempat sarapan dan langsung berangkat ke acara perpisahan di sekolah. Menu hari ini lain dari biasanya. Ibu masak makanan kesukaanku. Nasi jagung, sayur maronggi dan ikan cakalang goreng.
“Ini hari istimewamu,” ujar ibu, “kamu telah berhasil melewati satu tahap dari perjalanan pendidikanmu. Ibu ingin melihatmu makan lahap dan banyak.”
“Terima kasih, Bu.”
Aku terharu dengan apa yang dilakukan ibu. Aku tak mengerti. Bagaimana ibu yang tak berpendidikan bisa mempunyai pikiran seperti itu. Mungkin hidup dan kehidupan telah mengajarkan kepada ibu. Apa yang tidak dia dapatkan di bangku sekolah. Yang pasti, aku bersyukur. Hari ini aku diistimewakan ibu.
Aku makan dengan lahap. Rasa perut yang lapar ketemu dengan menu istimewa membuat aku lupa daratan. Satu piring nasi yang menggunung tandas dalam sekejap. Ibu tersenyum tipis melihatnya.
“Tadi baca basmalah, Han?” tanya ibu meledekku.
Aku tersenyum tak menjawab dan terus saja makan. Makanan kesukaanku tak aneh-aneh. Sebenarnya apa yang dimasak ibu untukku, aku pasti suka. Lidahku sudah terbiasa dengan masakan desa. Apa yang dihasilkan tanah di desa itu aku suka.
Sejak beberapa hari yang lalu. Aku juga belajar menanak nasi ke ibu. Di pondok, aku ingin masak nasi sendiri. Menurut teman-temanku yang lebih dulu mondok. Lebih irit masak sendiri dibandingkan beli ke kantin pesantren. Kalau masak sendiri bisa makan sekenyangya. Kalau beli, nasinya sesuai takaran yang diberikan. Tidak bisa nambah kecuali nambah uang juga. Ibu juga setuju aku memasak sendiri. Oleh karena itu aku semangat untuk belajar masak. Tak lupa belajar bumbu sederhana untuk telur goreng dan bumbu ikan cakalang. Sepertinya kehidupan mandiriku selama di pesantren sudah dimulai di rumah. Tak ada yang sulit selama mau belajar.
Tiga hari lagi, aku direncanakan berangkat ke pesantren. Di hari Ahad. Hari bagus untuk orang yang akan pergi belajar menuntut ilmu, kata ibu. Sebenarnya hari Rabu juga bisa, tapi menurut Kiai Hamid, guru dari kakekku yang memimpin masjid desa, lebih bagus hari Ahadnya. Beliau juga yang akan mengantarku ke pondok. Memasrahkanku kepada pengasuh. Ibu sudah menghadap Kiai Hamid. Meminta kesediaannya untuk mengantarkan aku ke pesantren.
Detik demi detik yang kujalani sepertinya lebih lama dari biasanya. Aku ingin segera merasakan seperti apa kehidupan pondok. Tak ada yang lebih kuinginkan selain bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Di tengah keterbatasan keluargaku.
Dua hari menjelang keberangkatan ke pondok. Persiapan barang-barang yang harus kubawa sepertinya sudah lengkap semua. Pakaian yang mau aku bawa sudah selesai kumasukkan ke dalam kardus. Aku tak membawa banyak pakaian karena pakaianku memang terbatas. Peralatan mandi dan masak seadanya juga sudah ibu siapkan, termasuk beras dan abon cakalang yang menjadi menu favoritku. Tak lupa ijazah dan buku tulis yang akan aku gunakan di pondok. Buku tulis itu merupakan hadiah karena aku menjadi lulusan terbaik di sekolah dalam acara perpisahan beberapa hari yang lalu.
Satu hari menjelang keberangkatan, ibu mendapat kabar. Ayahku datang dari Jawa dan pulang ke rumah asalnya di desa sebelah. Ibu memintaku untuk mendatangi ayah. Mengabarkan kepadanya bahwa aku akan berangkat ke pesantren. Ingin rasanya aku menolak permintaan ibu. Entah mengapa aku enggan untuk bertemu ayah. Setelah enam tahun tak berjumpa semenjak perpisahannya dengan ibu dan tanpa kabar berita, sepertinya aku tak butuh lagi sosok seorang ayah. Aku hanya butuh ibu. Ya, aku hanya butuh ibu.
“Dia tetaplah ayahmu, apapun yang dia lakukan terhadap ibu.” Ibu membelai rambutku dengan lembut.
“Tapi aku tak ingin ketemu dengan ayah, Bu …” aku merajuk. Tetap mempertahankan sikapku untuk tidak menghadap ayah.