Awal-awal berada di pondok, aku tak menghadapi rintangan yang berarti. Terutama masalah tidak kerasan. Sebagaimana banyak dihadapi para santri baru lainnya. Aku sudah sadar, ini tempat terbaikku untuk menuntut ilmu. Yang menjadi cita-citaku sebagai tempat belajar untuk bisa mengubah nasib.
Aku satu kamar dengan teman-teman yang setetangga. Baik tetangga kampung maupun tetangga desa sekecamatan. Itu membantu proses perkenalan yang cepat karena berasal dari desa atau kecamatan yang sama. Dari mereka aku belajar mencuci baju sendiri dan memasak nasi di dapur pesantren. Ketika belajar mencuci, aku banyak diajari cara mencuci baju agar kembali suci dan bisa sah dipakai shalat. Bukan hanya mencuci baju agar bersih. Ketika belajar memasak, aku belajar memasak nasi yang tidak gosong dan bisa tahan sampai malam. Waktu memasak di pesantren Al-Mukmin bisa dilakukan di pagi hari setelah jamaah Subuh. Bisa juga setelah datang sekolah dengan syarat sudah selesai jamaah shalat Duhur.
Di sekolah pagi, aku bertemu dengan banyak teman dari berbagai kabupaten dalam satu provinsi. Bahkan ada yang dari luar provinsi. Kelihatan mereka pandai-pandai. Baju mereka kelihatan bagus-bagus. Terkadang aku merasa rendah diri untuk bergaul dengan mereka. Begitu teringat percakapanku dengan ibu sebelum mondok, aku kembali percaya diri lagi. Semangatku terlecut untuk meraih prestasi.
Aku tak menyia-nyiakan kesempatan belajar di pesantren Al-Mukmin. Aku ingin membalas jerih payah ibu yang mencarikan biaya pendidikanku. Tiap malam, seringkali terbayang ibu yang kecapekan setelah bekerja seharian di ladang. Tanpa aku yang biasanya membantu membawakan barang bawaannya. Ketika teringat itu, aku menjadi semakin semangat dan tekun belajar.
Setiap selesai berjamaah Duhur, aku siap-siap untuk memasak nasi. Sebagaimana keinginan awal bahwa aku harus belajar hemat selama di pesantren ini. Rasa capek setelah setengah hari berjibaku dengan berbagai pelajaran di kelas, aku buang jauah-jauh. Rasa capek yang aku rasakan tak secapek ibu yang banting tulang mencari biaya pendidikanku.
Di sela-sela memasak itu aku gunakan untuk membaca pelajaran yang baru aku dapat hari itu di sekolah. Aku membaca semua mata pelajaran yang aku pelajari. Secara bergantian. Dengan cara seperti itu, pelajaran-pelajaran itu seakan nempel di otakku. Aku tak perlu membacanya lagi sampai tiba jadwal pelajaran yang sama di minggu depannya. Atau beberapa hari ke depan jika mata pelajaran itu diajarkan sepekan lebih dari sekali. Tak ada pelajaran yang aku istimewakan. Aku tak memiliki pelajaran yang menjadi favorit. Semua mata pelajaran mendapatkan porsi yang sama ketika aku belajar. Aku berusaha menyenangi dan mencintai semua pelajaran agar semangat ketika belajar pelajaran-pelajaran itu.
Pagi ini hari Jum’at, waktunya para santri dikirim oleh orang tuanya. Pendidikan umum di pesantren Al-Mukmin libur. Sementara di hari Ahad pembelajaran tetap berlangsung. Libur pelajaran diganti hari Jum’at. Kegiatan kepesatrenan juga libur, sepert kajian kitab kuning dan kegiatan lainnya. Di hari Jum’at, hanya ada tadarus Al-Qur’an bersama selesai shalat Subuh berjamaah di masjid pesantren. Selesai tadarus, ada kegiatan Jum’at Bersih. Dalam kegiatan ini, seluruh santri bersih-bersih lingkungan pesantren sehingga pesantren menjadi rapi dan indah. Siap untuk menyambut para orang tua yang menegirim anak-anaknya di pesantren.
Selesai mengikuti kegiatan Jum’at Bersih aku segera mengambil baju-baju kotor di bilik pesantren. Berjalan menuju sumur di samping kamar mandi untuk mencuci baju. Sudah satu minggu ini aku tidak mencuci. Banyak tugas sekolah yang harus aku selesaikan. Aku sudah terbiasa mencuci sejak mulai mondok, sehingga mencuci merupakan kegiatan yang mudah dan ringan untuk dilakukan. Tidak menjadi beban dan tidak boleh dianggap beban. Kegiatan mencuci sendiri ini juga menjadi bentuk dari nilai-nilai kemandirian yang harus dimiliki oleh seorang santri.
Baju-baju hasil cucianku aku jemur di tempat yang sekiranya bisa terpapar matahari dengan baik agar cepat kering. Tempat menjemur baju yang disediakan oleh pesantren sudah tak muat menampung cucian santri. Kebanyakan santri memang mencuci di hari Jum’at sehingga hasil cucian menumpuk. Di saat yang sama banyak baju-baju yang sudah dicuci hari sebelumnya sudah kering tapi belum diangkat oleh pemiliknya. Aku pun tak memaksa untuk jemur di tempat jemuran khusus itu. Kuatir bercampur dengan cucian yang banyak itu hingga memungkinkan untuk tertukar atau terambil. Ada tempat di celah bangunan pondok yang bisa aku manfaatkan untuk menjemur pakaian.
Setelah urusan cucian selesai, aku segera bergegas menuju gerbang pesantren. Aku ingin menyambut ibu di sana. Sudah dua pekan aku tidak lihat wajah ibu. Kangen sekali. Mobil angkutan umum yang digunakan ibu tidak boleh masuk pesatren. Ia hanya boleh berhenti depan gerbang pesantren kecuali sedang memuat tamu atau rombongan orang yang mau mondok. Jarak gerbang pesantren dengan lokasi pondokku cukup jauh. Kira-kira lebih satu kilo. Memang tidak seberapa jauhnya jika dibandingkan jarak dari ladang ke rumahku. Tapi menjemput ibu di gerbang pesantren itu memiliki semacam rasa yang misterius. Terutama ketika melihat senyum ibu pertama kali.
Di gerbang pesantren, aku lihat sudah banyak juga teman santri yang berkerumun. Di antara mereka mungkin sama dengan aku. Ingin menyambut kedatangan orang tua mereka yang datang berkunjung. Atau hanya mengantar teman yang menanti orang tuanya. Itu biasa aku lakukan ketika sampai pada hari Jum’at tapi belum waktunya untuk dikunjungi ibu. Dengan ikut teman menjemput orang tuanya, biasanya aku akan diajak makan bersama oleh teman saya tersebut. Setiap orang tua yang mengunjungi anaknya di pesantren membawa makanan untuk dimakan di pesantren. Setiap santri di hari Jum’at biasanya libur masak sendiri di dapur pesantren.
Sudah tiga angkutan umum yang lewat depan gerbang dan dua di antaranya berhenti untuk menurunkan penumpang. Belum tanpak senyum ibu muncul. Mungkin ibu tidak bisa berangkat pagi ke pesantren sehingga jam segini belum tiba juga. Sampai tujuh angkutan umum yang lewat tapi ibu belum datang juga. Aku tetap berusaha sabar dan berprasangka baik bahwa ibu memang lambat berangkat dari rumah.
Sudah sekitar dua jam aku berada di pintu gerbang pesantren dan sepuluh mobil angkutan umum yang lewat, ibu belum juga datang. Pikiranku mulai tidak tenang. Mulai muncul pikiran macam-macam di otakku. Aku kuatir terjadi apa-apa dengan ibu. Tidak biasanya jam segini Ibu belum sampai di pesantren. Jum’at ini tidak seperti biasanya. Ya Allah, lindungi ibuku. Begitu doaku berulang-ulang dalam hati sambil berjalan mondar-mandir di samping kiri gerbang pesantren. Aku baru sadar, teman-temanku yang lain sudah kembali ke pondok. Aku sendirian di gerbang pesantren itu. Hanya ada penjual pentol keliling di kejauhan sana. Dagangannya juga hampir habis.
Dari kejauhan aku melihat mobil colt warna metalik berplat kuning berjalan terseok-seok. Mungkin usianya sudah tua tapi belum juga dipensiunkan oleh pemiliknya. Semakin dekat semakin terdengar deru mesinnya yang berisik. Sesekali asap hitam keluar di bagian belakang mobil itu. Pas depan gerbang pesantren, mobil colt itu berderit tanda rem diinjak. Dari dalam mobil turun senyum yang aku dambakan mulai pagi. Ibu datang. Aku menghambur menyambut. Mengambil tangan ibu dan menciumnya berulang kali. Entah mengapa, aku seperti menemukan surga di bumi.
“Aku sebenarnya sudah berangkat pagi dari rumah.” Ibu bercerita sambil berjalan menuju pondok.
“Kenapa lambat sampainya ke pesantren, Bu?” tanyaku sambil berusaha mengiringi ritme jalan ibu dengan berjalan di sampingnya.