Tanpa terasa aku telah berada di ujung tahun ketiga di pondok pesantren Al-Mukmin. Sebentar lagi aku akan menghadapi ujian akhir di tingkat madrasah tsanawiyah. Aku tetap berusaha belajar dengan keras dan mempertahankan prestasi akademik di sekolah. Semua demi ibu yang telah susah payah memperjuangkan pendidikanku di pesantren. Berapapun bekal uang yang diberikan oleh ibu ketika berkunjung, tetap aku terima dengan ikhlas dan bertekad untuk mencukupkan selama setengah bulan ke depan. Bahkan kalau bisa ada sisa agar ibu bisa tersenyum gembira.
Setiap kunjungan ibu biasanya bertanya. Apakah bekal uang kemarin habis atau ada sisa. Ketika aku mengeluarkan sisa bekal saku baju, maka ibu pasti tersenyum gembira. Itu artinya ibu tidak akan utuh memberikan bekal selama setengah bulan tapi dikurangi dengan jumlah sisa yang ada di tanganku. Dengan demikian jatah bulananku tetap sama tapi ibu membawa pulang sisa uang bekalku di setengah bulan yang kemarin. Dari cara seperti itu, aku tahu ibu juga butuh uang di rumah tapi tidak pernah berterus terang kepadaku. Ibu tetap berusaha mencukupkan jatah bekalku di pesantren.
Aku sudah sangat bersyukur ketika SPP sekolahku dan pesantren tidak keteteran. Ibu selalu berusaha bayar tepat waktu bahkan sekaligus dalam satu tahun. Terutama ketika sedang musim kemarau dimana ibu punya pemasukan dari hasil menjual tikar tembakau. Dengan cara membayar sekaligus satu tahun itu ibu tidak harus memikirkan SPP bulanan. Ibu hanya tinggal memikirkan biaya hidupku saja dan kebutuhanku di luar SPP. Percakapan sebelum mondok tentang kekuatiran ibu ketika SPP-ku telat bayar tidak terbukti sama sekali.
Di hari Jum’at aku menjalankan rutinitasku. Berjalan ke arah pintu gerbang pesantren untuk menjemput ibu. Sampai di lokasi tengah-tengah antara pondok dan gerbang pesantren, aku seperti melihat bayangan ibu berjalan gontai dengan menyunggi tas plantik berisi kirimanku. Aku segera menghambur berlari menyambut ibu. Tidak biasanya sepagi ini ibu sudah sampai di pesantren.
Aku mengambil tangan ibu dan menciumnya dengan hikmad. Aku merasakan telapak tangan ibu semakin kasar. Bukti bahwa ibu semakin keras bekerja. Gagang sabit dan cangkul menjadi pegangannya sehari-hari dan sampai di rumah pun tangan itu harus bersentuhan dengan daun siwalan yang kasar ketika membuat tikar. Jadilah tangan ibu kasar seperti itu. Tapi bagiku, tangan ibu yang kasar itu adalah tangan paling mulia di atas bumi.
Ibu duduk depan pondok dengan wajah yang berusaha untuk tetap tersenyum. Melayaniku untuk bisa makan dengan lahap sebagaimana biasa. Kondisi wajah ibu yang tak biasa itu aku tangkap dengan cepat. Nafsu makanku turun. Namun tetap berusaha makan selahap mungkin agar ibu senang. Makanan yang dibeli dari cucuran keringatnya itu aku nikmati sepenuh perasaan.
Selesai aku makan, ibu masih mengeluarkan satu bungkusan daun pisang. Harum ketan segera meruyak memenuhi hidungku. Ini pasti makanan kesukaanku. Benar saja. Begitu daun pisang itu dibuka, tebakanku benar. Ibu memasakkan “burse” untukku. Burse adalah makanan yang terbuat dari beras ketan yang dicampur dengan irisan jagung muda dan dicampur air sari pati parutan kelapa. Saya baru ingat bahwa sekarang sedang musim jagung muda. Ibu selalu membuat burse ketika musim jagung muda tiba. Walau perut sudah penuh, burse itu tetap kusantap dengan lahap.
Ibu mengajakku pindah tempat. Mencari sudup pondok yang relatif sepi. Aku semakin bertanya-tanya dengan sikap ibu. Tak biasanya ibu begitu. Aku tak banyak tanya. Segera saja aku mengajak ke belakang masjid. Di dekat lengkungan bangunan ruang khusus imam mengimami shalat berjamaah itu tempat relatif sepi. Aku sering menggunakan tempat itu untuk belajar.
“Kamu sudah kelas tiga Tsanawiyah sekarang ya?” tanya ibu perlahan.
“Iya, Bu benar. Sebentar lagi ujian akhir.” Aku berusaha menyelami apa yang ibu pikirkan.
“Setelah lulus apa rencanamu, Nak?”
“Tentu aku ingin melanjutkan ke Madrasah Aliyah, Bu.”