Tumpukan buku mata pelajaran itu hanya teronggok saja di depanku. Tak ada semangat sama sekali untuk menyentuh apalagi membukanya. Aku merasa tak butuh lagi belajar. Untuk membantu ibu mengerjakan pekerjaan di ladang tak butuh ilmu yang ada dalam tumpukan buku di depanku ini.
“Hei ….” Hasan, teman sekelas, datang menepuk pundakku.
Aku menoleh dan berusaha untuk tersenyum.
“Tumben tuh buku masih belum kamu lahap?” ujar Hasan. Ia suka mengolok-olokku ketika terlalu serius belajar. Tapi ia teman yang baik. Suka menolongku.
“Udah semua tadi. Tuh tinggal sisanya. Sengaja aku tinggalin buat kamu.” Aku menjawab asal-asalan.
“He … he … orang pintar sudah begitu banyak. Gak usah ketambahan aku.” Hasan tertawa ngakak. Dia memang tidak suka belajar. Nilai raportnya selalu pas-pasan.
“Memang kamu gak mau persiapan ujian akhir nanti?” tanyaku dengan serius.
“Belajar sistem kebut semalam kan bisa, Han …” jawab Hasan cepat, “aku perhatikan dari tadi sepertinya kamu banyakan bengongnya. Ada masalah apa sih?”
Aku diam tak menjawab. Mungkin Hasan memang memerhatikan aku mulai tadi. Dia pasti meliahat aku tak menyentuh buku pelajaranku sama sekali. Sebenarnya aku tak ingin bercakap dengan siapapun sekarang. Tapi meninggalkan Hasan begitu saja jelas sikap yang tak sopan. Bisa saja Hasan menjadi tersinggung. Padahal selama ini dia telah sangat baik kepadaku.
Seringkali Hasan memberiku kue kiriman orang tuanya. Pernah menawarkan bantuan uang juga ketika dilihatnya aku sudah tidak ke kantin sekolah. Namun dengan halus bantuan itu aku tolak. Aku tidak ingin menjadi beban orang lain. Uang yang dipunyai Hasan adalah hasil pemberian orang tuanya. Orang tuanya memberikan uang itu untuk dipakai memenuhi kebutuhan Hasan selama di pondok. Bukan untuk dipakai membantu kebutuhan orang seperti aku ini.
“Hei ….” Hasan menepuk pundakku.
“Gak ada apa-apa kok!” jawabku.
“Jangan bohong. Kamu tak biasanya seperti itu. Kamu selalu semangat belajar. Tapi malam ini aku lihat kamu beda.”
“Benar, aku gak bohong. Gak ada yang aku sembunyikan.” Aku tetap bertahan dengan pendapatku.
Hasan menyeretku ke bawah pohon belinjo di halaman pesantren. Suasana juga agak sepi. Waktu tidur sebentar lagi tiba.
“Han, masalah apapun itu akan terasa lebih ringan jika dibagikan kepada teman. Aku yakin kamu pasti punya masalah. Kamu beda sekali malam ini.” Hasan terus mencercaku dengan tuduhan-tuduhannya.
“Bahkan, bisa saja dengan menceritakan pada orang lain akan didapat jalan keluarnya.”
Aku pikir-pikir apa yang dikatakan Hasan ada benarnya juga. Siapa tahu dengan menceritakan ke Hasan aku akan dapat jalan keluar masalah biaya pendidikanku sehingga aku bisa tak memberatkan ibu lagi.
Dengan membaca basmalah dalam hati secara perlahan aku menceritakan masalah yang kuhadapi. Dari awal sampai akhir. Tak ada yang aku tutup-tutupi. Semua aku ceritakan. Hasan mendengarkannya dengan saksama. Sesekali dia menghela nafas panjang.
“Itulah masalahku sekarang, San.” Aku mengakhiri ceritaku.
“Tawaranku yang dulu itu tetap berlaku. Aku siap memberikan sebagian jatah bulananku kepadamu. Yang penting kamu jangan sampai berhenti mondok. Tetap harus melanjutkan sekolah.” Terdengar kesungguhan dari suara Hasan.
“Tidak, aku tidak ingin memberatkanmu. Lagian, itu diberikan khusus oleh orang tuamu untuk kebutuhanmu, bukan untuk membantu kebutuhanku.” Aku tegas menolak tawaran Hasan.
“Bagaimana kalau aku ijin ke ayah, menggunakan jatah bulananku untuk membantu biaya pendidikanmu.” Hasan menawarkan solusi lanjutan.
“Tidak, pada prinsipnya aku tidak ingin membebani orang lain.”