Aku bergegas bangun. Kulihat jam di masjid pesantren menunjukkan pukul dua puluh tiga lewat tiga puluh menit. Masih cukup waktu untuk persiapan melaksanakan tirakat. Aku memang sengaja tidur di emperan masjid agar bisa cepat bangun. Aku beranjak ke kamar mandi. Membasahi seluruh tubuhku dengan air untuk menghilangkan kantuk. Setelah itu mengambil wudu dengan sempurna seperti akan melaksanakan shalat.
Dari kamar mandi aku menuju kamar tidur santri. Dengan perlahan aku buka pintu kamar yang tertutup rapat agar tak mengganggu teman-temanku yang sedang tidur. Aku mengambil baju putih dan sajadah. Tak lupa aku ambil tasbih elektronik hasil pinjaman Hasan. Dengan tasbih elektronik ini aku tak perlu menghitung pakai tasbih manual yang hanya berisi seratus biji. Tasbih elektronik bisa mencapai sembilan puluh sembilan ribu sembilan ratus sembilan. Sudah sangat cukup karena yang aku butuhkan hanya enam belas ribu saja.
Dari kamar aku menuju ke masjid lagi. Aku ingin menunaikan shalat Tahajud dulu karena aku sudah tidur tadi. Aku shalat sebanyak tujuh rakaaat. Dua rakat shalat Taubat, dua rakaat shalat Hajat dan tiga rakaat shalat Witir. Turun dari masjid aku langsung berbelok ke selatan berjalan perlahan menuju Asta Tinggi.
Menjelang tengah malam ini, suasana sudah sepi sekali. Aku sama sekali tak melihat kelebat santri berjalan di halaman pesantren. Sebenarnya aku berharap ada teman santri yang juga melaksanakan tirakat. Tapi kalau ternyata ada santri yang juga melaksanakan tirakat apakah nanti tirakatnya akan berhasil? Ah, entahlah!
Semakin menjauh dari masjid, aku merasakan suasana semakin sepi. Hanya terdengar sayup-sayup suara jangkrik di kejauhan sana. Sesekali kelelawar terbang rendah di hadapanku. Turun dari pohon mangga di pinggir jalan menuju Asta Tinggi ini.
Memasuki pintu Asta Tinggi, aku merasakan suasana yang berbeda. Aku toleh kanan kiri. Mencoba mencari santri yang juga melakukan tirakat. Tak tampak batang hidungnya. Hanya onggokan batu nisan yang diam. Di ujung pemakaman sana adalah makam Kiai Bahrawi, pendiri pesantren Al-Mukmin ini.
Setelah cukup lama aku berdiri di pintu areal pemakaman Asta Tinggi, aku melangkahkan kakiku untuk memasuki areal makam. Baru dua langkah aku berhenti. Ada bau terendus hidungku. Bau harum yang aneh. Begitu aku endus lagi, bau harum itu seakan hilang di telan bumi. Bulu kudukku berdiri. Aku menjadi teringat dengan cerita-cerita seram dari teman-temanku di rumah. Bahwa kemunculan hantu itu dimulai dengan bau harum.
Perlahaan aku beringsut mundur. Kembali ke pintu pemakaman. Hati kecil berkata agar aku segera pulang saja ke pondok. Tirakat ini terlalu berat. Aku tak akan mampu untuk melaluinya dengan sukses. Tapi di bagian hati yang lain mengingatkan aku pada cita-citaku untuk terus melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Aku harus mampu menerjang semua rintangan yang ada. Siapa tahu ini adalah rintangan yang memang harus aku lalui dengan gagah berani. Terjadi kecamuk batin yang tak mudah aku lalui. Lalu aku teringat ibu, teringat tentang perjuangan dan penderitaannya selama ini untuk membuatku bisa melanjutkan pendidikan. Tekadku kembali menyala.
Perlahan aku melangkahkan kakiku ke arah pohon beringin di tengah areal pemakaman. Angin dingin menerpa ujung telingaku. Aku merasakan sepertinya itu bukan angin biasa. Kenapa hanya ujung telingaku yang merasa dingin tapi bagian tubuhku yang lain tidak merasa dingin. Sekali lagi aku menoleh ke belakang. Ke arah pintu masuk areal makam. Tak ada siapa pun atau apa pun. Hanya sepi sepanjang mata memanjang jauh hingga ke samping masjid pesantren.
Aku mencari lokasi yang tak berbatu dan kuhamparkan sajadah di tempat itu. Lalu mengawali tirakat pertama ini dengan membaca fatihah kepada Nabi Muhammad Saw, sahabat dan keluarga beliau. Setelah itu baca fatihah untuk kedua orang tuaku lalu pengasuh pesantren Al-mukmin dan terakhir pada Ustadz Amin sebagai orang yang telah mengijazahkan amalan tirakat ini kepadaku. Selesai dengan tawassul fatihah itu aku perlahan mulai membaca shalawat sembari memencet tasbih digital sebagai hitungan.
Sebentar-sebentar aku menoleh ke samping kanan. Sekejap kemudian menoleh ke samping kiri. Kesempatan selanjutnya menoleh ke belakang. Sekitar satu jam aku membaca shalawat dan angka di tasbih digital menunjukkan angka tiga ribu lebih, tak ada hal aneh yang kualami. Hatiku mulai tenang. Ternyata tadi itu mungkin hanya perasaanku saja. Berasal dari ketakutanku pada hal-hal yang menjadi pikiranku sendiri.
Ketika angka di tasbih digital menunjukkan angka sembilan ribuan, aku melihat bintang jatuh di kejauhan sana. Awalnya satu. Lama kelamaan menjadi banyak. Aku terus saja melanjutkan bacaan shalawatku. Aku pikir mungkin itu peristiwa alam biasa yang bisa terjadi setiap malam. Hingga kemudian ada satu bintang pas di luar pagar makam. Menyebabkan suara berdentum yang begitu keras. Tubuhku seakan terangkat dari tempat duduk kerasnya. Asap hitam kemerahan menyeruak memenuhi areal sekitar makam. Tercium bau bangkai yang menyengat hidung. Bulu kudukku berdiri dan ingin berlari.
Aku melirik angka di tasbih digital. Genap menunjukkan enam belas ribu. Shalawat Tarhim mengalun lembut dari pengeras suara di masjid pesantren. Aku menghela napas lega. Itu artinya aku telah lulus melaksanakan tirakat pada pertama ini. Dengan mengucapkan syukur, aku melangkah keluar area pemakaman dan segera menuju masjid pesantren agar tak terlihat teman santri yang lain. Aku tak tertarik untuk melihat tempat jatuhnya bintang tadi.
Di malam kedua, aku agak terlambat bangun. Pukul dua belas kurang seperempat. Tapi tak perlu lagi masuk kamar tidur, segala persiapan telah aku letakkan di pojok masjid. Baju putih, sajadah dan tasbih. Selesai melaksanakan shalat Tahajud aku langsung menuju Asta Tinggi.
Aku merasa merasa perjalanan ke areal pemakaman cukup lama. Sepertinya langkahku ada yang menahan. Padahal semalam perjalanan ke makam lancar-lancar saja. Dari samping masjid ke pintu makam itu terlihat pada siang hari. Aku mencoba memandang jauh ke depan. Pintu makam belum terlihat padahal aku merasa telah cukup jauh berjalan.
Dahiku mulai keluar keringat ketika dari kejauhan aku melihat komplek Asta Tinggi. Aneh. Suasana gelap, padahal kemarin ada lampu di pintu masuk dan di setiap pojok lokasi makam. Aku terus saja berjalan pelan dengan pikiran berkecamuk membandingkan yang aku alami sekarang dengan kemarin malam.
Ketika aku benar-benar sampai di lokasi Asta Tinggi, aku bingung karena tak mendapati pintu masuk ke areal pemakaman. Sedangkan pintu masuk biasanya lurus dari arah jalan yang menuju makam. Aku mencoba menajamkan pandangan karena suasana yang gelap. Barangkali aku yang salah lihat. Aku benar-benar tak menemukan pintu makam yang aku cari.
Aku putuskan untuk mengelilingi kompleks itu. Siapa tahu telah salah arah. Aku mengambil batu batu sisa pembangungan pagar makam untuk aku jadikan tanda dari mana aku memulai mengitari area Asta Tinggi ini. Aku mengambil arah kiri. Berjalan perlahan di sela-sela rumput alang-alang yang tumbuh tinggi karena memang jarang dilewati para santri. Aku merasakan suasana yang benar-benar sepi. Tak ada bunyi binatang malam apapun termasuk bunyi jangkrik. Setelah berjalan cukup lama, kakiku tiba-tiba terantuk batu bata yang tadi aku jadikan tanda. Berarti aku telah selesai mengitari areal pemakaman ini tak jua menemukan pintu masuk.
Ada keinginan untuk melompati pagar makam tapi aku takut kualat. Tidak sopan pada orang-orang yang dikubur di area makam. Aku mencoba kembali mengitari makam. Kali ini aku memulai dari sebelah kanan. Aku melangkah pelan dengan menajamkan pandangan agar tidak melewatkan setiap inci bagian pagar makam. Barangkali di antara kegelapan itu pintu makam berada. Tanpa terasa aku kembali sampai di tempat awal dan tak juga kutemukan sebuah pintu.
Aku menunduk lelah. Sudah dua kali berputar aku tak menemukan pintu. Maka dari pada balik ke pondok aku putuskan untuk melaksanakan tirakat di tempat itu saja. Walaupun tidak di dalam makam, paling tidak aku bisa melaksanakan di dekat areal pemakaman. Aku hamparkan sajadah yang sebagian basah oleh keringatku itu dan mulai membaca fatihah seperti semalam. Selesai fatihah aku mulai mendaras bacaan shalawat kepada Kanjeng Nabi Muhammad Saw.
Begitu aku memulai shalawat, sejurus kemudian aku melihat adanya secercah sinar menyilaukan dari empat penjuru mata angin. Semakin kuperhatikan sinar itu berasal dari pancaran sinar lampu di empat penjuru areal makam. Dan begitu kesadaranku semakin utuh, aku mengetahui aku sedang berada di tempat yang sama dengan semalam. Di bawah pohon beringin bagian timur mengahadap kiblat di dalam areal pemakaman Asta Tinggi.
Aku tertegun sejenak dan bergumam sendiri. Kok bisa ya? Aneh tapi nyata. Mungkin inilah yang dimaksud Ustadz Amin bahwa aku harus siap dengan segala kejadian yang di luar nalar normal itu. Aku berusaha mengamati sekeliling areal makam. Semuanya normal saja tanpa keanehan apapun yang aku rasakan. Hingga Subuh menjelang, tak hal aneh lagi yang aku rasakan. Enam belas ribu shalawat itu mampu aku selesaikan di saat shalawat Tarhim mengalun syahdu.
Di hari ketiga, sejak siang hari aku pelototi terus areal pemakaman itu dan pintu gerbangnya. Aku tak ingin mengalami peristiwa seperti semalam yang kesulitan memamasuki areal pemakaman. Tak ada yang aneh. Area pintu masuk sama seperti biasanya. Karena penasaran aku berjalan ke areal makam setelah shalat Asar berjamaah di masjid.
Aku amati benar-benar tak ada yang aneh. Bahkan aku mencoba mengelilingi bagian luar pagar makam seperti yang aku lakukan semalam. Tak ada rumput ilalang seperti yang kulihat semalam. Semua bersih kerena setiap pelaksanaan program Jum’at Bersih areal luar pagar makam itu juga dibersihkan oleh teman-teman santri. Aneh!
Dari kejauhan aku pandangi pintu masuk Asta Tinggi. Terlihat walau samar-samar. Malam ini adalah malam ketiga aku menjalani tirakatku. Semalam hampir saja aku gagal jika tidak memutuskan untuk melaksanakan tirakat di tempat aku tersesat. Sebentar saja aku berjalan telah sampai di depan pintu masuk. Alhamdulillah. Sepertinya aku akan mudah menghapi tirakat malam.
Memasuki areal makam, aku mendengar suar riuh di kejauhan sana. Apakah suara santri yang sedang bergurau atau suara itu berasal dari orang-orang di sekitar pesantren. Lama-kelaman suara-suara itu semakin mendekat. Aku mencoba menyapukan pandangan ke arah pintu masuk dan meluruskannya ke arah masjid, tak kulihat seorang santri pun. Aku coba pandangan dengan melangkahi pagar pesantran juga tidak melihat hal-hal aneh. Sedangkan suara riuh itu semakin menusuk telinga. Akhirnya aku mengambil keputusan untuk tidak memerdulikannya. Aku acuhkan saja suara-suara memekakkan telinga itu dan mencoba fokus untuk memulai tirakatku.
Aku hamparkan sajadah di tempat biasa. Memulai baca fatihah dan setelah lengkap bacaan fatihahku, langsung memulai membaca shalawat. Tak lupa pula dibarengi dengan menekan tasbih digital agar tak lupa hitungan. Bersamaan dengan bacaan shalawatku, suara-suara keras itu perlahan mulai mengecil, semakin mengecil dan akhirnya hilang dengan sendirinya.
Aku mulai berpikir, apakah kejadian-kejadian aneh itu takut pada bacaan shalawat. Malam kemarin aku mulai melihat lampu pagar makam saat memulai baca shalawat. Malam ini suara-suara aneh itu hilang ketika aku memulai baca shalawat. Aku sedikit tenang setelah mendapat pikiran seperti itu.