Pagi itu aku melintas di depan perpustakaan sekolah ketika Pak Latif, guru bahasa Inggris, memanggil. Dengan segera aku mendatangi beliau. Di tangan Pak Latif tergenggam selembar kertas yang kemudian diserahkan kepadaku.
“Kamu ikut lomba ini ya.”
“Lomba apa ya Pak?”
Aku tidak langsung menjawab permintaan Pak Latif itu. Aku membaca lebih dulu apa yang beliau disodorkan. Di kertas itu ada pengumuman lomba menulis cerita pendek tingkat provinsi yang dilaksanakan oleh sebuah organisasi kepemudaan.
“Saya tak bisa memenuhi permintaan Pak Latif,” ujarku dengan jujur, “mohon maaf Pak, saya tidak mampu menulis cerpen.”
“Kamu pasti bisa.” Pak Latif mencoba meyakinkanku.
Untuk menghormati beliau, aku kemudian berkata siap. Walau selama ini aku tak pernah menulis cerpen. Memang, di pelajaran Bahasa Indonesia disampaikan pelajaran tentang cerpen, tapi aku tidak pernah mencoba menulisnya sama sekali. Kalau membacanya di koran pernah sesekali. Tapi tak pernah tertarik untuk membuatnya.
Berdasar keinginan untuk menghormati dan melaksanakan perintah guru, setelah jam sekolah selesai aku memasuki perpustakaan pondok. Di dalamnya aku menemukan banyak sekali kliping cerpen dari koran harian nasional yang terbit di provinsi. Aku mencoba membaca cerpen-cerpen tersebut. Awal-awal membaca, satu demi satu cerpen itu, tak ada sesuatu yang aku dapatkan begitu selesai membaca. Kemudian aku mencoba mengaitkan dengan pengertian dan hal lainnya tentang cerpen yang aku dapat di kelas. Sedikit demi sedikit aku mulai bisa memahami cerpen yang aku baca walau dengan sangat terbatas. Apalagi yang aku baca adalah cerpen untuk konsumsi orang dewasa, bukan cerpen remaja sesuai dengan umurku, apalagi cerpen anak-anak.
Berbekal pemahaman seadanya tentang cerpen akhirnya aku pun berusaha menulis cerpen pertamaku. Agar bersemangat, aku membayangkan jumlah uang juaranya yang besar. Tentu saja menurut ukuranku. Uang juara tersebut akan aku gunakan untuk melanjutkan pendidikanku di pesantren ini. Tak ada jalan lain sebagai jalan keluar untuk terus melanjutkan pendidikan. Jika ibu sudah angkat tangan, maka aku tak boleh berpangku tangan. Ikut lomba cerpen ini adalah jalan Tuhan yang disediakan untukku. Aku berusaha mematrikan keyakinan itu dalam hati.
Dengan meminjam mesin ketik milik perpustakaan, aku mulai menyusun paragraf demi paragraf cerpen pertamaku. Cerpen itu berkisah tentang seorang kakek yang sudah lanjut usia dan berusaha untuk menanami bukit di belakang rumahnya yang gundul karena penebangan liar. Mungkin dia tidak akan dapat menuai hasil yang dia tanam. Minimal dia telah berbuat untuk kelangsungan kehidupan anak cucunya.
Inspirasi dari cerpen itu aku dapat ketika jalan-jalan pagi di hari Jum’at. Ke arah belakang pondok yang kontur tanahnya berbukit-bukit. Aku berjumpa dengan seorang kakek yang tubuhnya sedang mandi keringat. Di dekatnya ada bibit pohon kelapa dan cangkul tua. Di sekitarnya sudah ada beberapa bibit yang tertanam. Aku bertanya, kenapa masih menanam bibit kelapa yang lama berbuahnya padahal usia dia sudah renta. Kakek itu menjawab, dia menanam untuk anak cucunya. Bukan untuk dirinya. Jawaban kakek itu memberiku satu kesadaran baru. Berbuat baik itu sampai akhir hayat. Tanpa harus peduli kita bisa menikmati buah kabaikan itu atau tidak.
Setelah selesai diketik, cerpen itu aku kirimkan melalui pos ke alamat yang tertera di kertas pengumuman. Biaya beli prangkonya aku ambil dari jatah makanku. Itu artinya aku harus banyak puasa. Sampai datang kiriman berikutnya. Selesai dikirim, ingatanku tak lagi tertuju pada lomba cerpen itu. Aku harus konsentrasi untuk menghadapi persiapan ujian akhir sekolah. Ujian yang akan menentukan aku dapat ijazah atau tidak.
Setelah berjibaku belajar dengan tekun, segala puji bagi Allah, akhirnya aku berhasil lulus dengan nilai baik. Setelah mendapat kepastian lulus, aku mulai siap-siap boyongan dari pesantren. Ibu memang sudah benar-benar angkat tangan untuk membiayai kelanjutan pendidikanku di pesantren. Aku sudah belajar ikhlas menerima kenyataan pahit ini. Hidup memang harus tetap berlanjut walaupun pendidikanku harus terhenti karena ketiadaan biaya. Setelah mendapat ijin dari pengurus pesantren. Sebagian dari barang-barangku aku bawa duluan ke rumah. Agar ketika dipamitkan berhenti pada pengasuh, aku tak kesulitan untuk membawa barang-barang pribadiku. Mulai dari kitab, buku pelajaran, pakaian dan barang lainnya.
Hari itu aku sedang di rumah. Menemani ibu yang sedang menganyam tikar dari daun siwalan. Aku sudah pandai juga menganyam tikar. Suhairi, teman sepondok, datang ke rumah. Ia menyerahkan amplop coklat. Tertulis namaku di sana sebagai tujuan.
“Kamu ikut lomba cerpen tingkat provinsi itu ya?” tanya Suhairi.
“Iya,” jawabku sambil membuka amplop itu, “apa ini?”
“Bacalah!” Suhairi tersenyum, “aku juga dapat surat yang sama.”