“Gwen, gue nebeng lo, ya ke studio latihan,” seru Keira tepat setelah bel pelajaran terakhir berbunyi. Hari audisi akhirnya tiba dan Keira sudah bersiap untuk datang lebih awal ke studio. Biasanya dia pasti nebeng Dimas, tapi pertengkaran dengan Dimas beberapa hari yang lalu membuatnya masih sungkan untuk memulai pembicaraan.
“Yah, gue kan hari ini nggak bawa mobil, Kei. Gue aja nebeng sama Cilla, tapi udah penuh mobilnya,” jawab Gwen. “Lo biasanya kan bareng Dimas.”
Keira hanya diam. Dari tempat duduknya sekarang dia hanya melihat Dimas masih duduk membelakanginya sambil membereskan buku-bukunya ke dalam tas.
“Bareng gue aja, Kei,” sahut Dimas masih dengan posisi yang sama. Suaranya terdengar jelas karena kelas sudah mulai sepi.
Dimas kemudian berbalik dan menghadap Keira. “Hanya karena kemarin kita berantem, bukan berarti gue jadi nggak mau nganterin lo, kan?”
Keira tersenyum. Perlahan rasa canggung yang dirasanya tadi mulai menghilang. Mungkin ini saat yang tepat untuk minta maaf.
“Dim, gue tahu omongan gue keterlaluan,” kata Keira dengan suara pelan. “Sorry, ya Dim. Gue nggak maksud kasar sama lo, ehmm... lo boleh kok ikut campur urusan gue, I mean lo kan sahabat gue.”
Dimas tersenyum melihat Keira bicara dengan terbata-bata. Minta maaf memang tidak pernah mudah dan melihat Keira sudah berusaha seperti ini saja sudah cukup baginya. Refleks diusapnya puncak kepala Keira tanpa rasa canggung sedikit pun. “Udah ah, minta maaf terus, kayak lebaran aja.”
Senyum Keira melebar. Kekakuannya terhadap Dimas perlahan mencair. Senyum hangat yang Dimas berikan telah memberinya rasa hangat yang sama.